Oleh Putu Bayuwestra, Divisi Konten Kamisinema
2019 menjadi tahun terakhir dimana industri film berjalan normal, dari produksi, eksebisi, hingga penghargaan. Sebelum kemudian pandemi benar-benar menjadi kekacauan tersendiri pada tahun berikutnya. Banyak hal yang menjadikan 2019, menjadi tahun yang spesial bagi dunia perfilman. Secara global, kita melihat “Avengers : Endgame” mengalahkan rekor penjualan tiket dari film “Titanic” karya James Cameron, menjadikannya film terlaris sepanjang masa. Kita melihat teknik long-take dan invisible cut pada film bergenre perang “1917”. Horror siang harinya Ari Aster pada film “Midsommar”. Atau, kalian pasti ingat bagaimana “Parasite” menjadi film Asia pertama yang menjawarai kategori Best Picture pada perhelatan Academy Awards. Tapi ada satu hal pada tahun 2019 yang sangat menarik perhatian saya. Ini tentang akting “gila” dan mengapa penonton sangat menyukainya.

Sumber : Warner Bros Pictures / DC Films
Cara seorang aktor/aktris dalam memerankan suatu tokoh bergantung pada banyak hal. Itu bisa karena interpretasi sang aktor terhadap naskah, tuntutan sutradara, atau bisa juga karena perupa citra pada tokohnya yang nyata (benar-benar ada). Seorang aktor/aktris bisa dikatakan sukses dalam memerankan suatu tokoh, saat apa yang dilakukannya dalam layar tidak terlihat sebagai sebuah akting. Orang umumnya akan membawa peran yang positif saat situasi menyenangkan; peran melankolis saat situasi begitu menyedihkan. Namun terkadang, situasi yang berada di luar nalar atau yang membuat kita berkata “wow itu tak terduga”membutuhkan treatment akting khusus. Disinilah akting “gila” memainkan perannya. Akting “gila” yang dimaksud sering kali membuat penonton akan secara gamblang menyimpulkan bahwa “ia akan menang Best Actor/Aktris”. Akting “gila” yang akan dibahas disini ada beberapa macam, yaitu Akting yang emosional, akting depresif, dan akting yang memang memerankan orang gila/kelainan mental. Berikut adalah beberapa film di tahun 2019 dengan akting gilanya.

Sumber : CJ Ent. / TMS Ent.
Parasite – Sebuah kisah tentang para parasit yang menggerogoti si kaya. Si kaya menyimpan sebuah rahasia. Rahasia itu ada dalam lemari rumahnya, tapi bahkan ia tidak tahu. Ketika para parasit bertemu sesama parasit lain, terjadi perebutan akan siapa yang menetap. Salah satu parasit menggila, mencintai inangnya. Yang saya maksud disini adalah Geun Se seorang yang tinggal di ruang bawah Tuan Park, yang ditampilkan Park Myung-Hoon. Walaupun masih belum sefantastis Choi Min-Sik sebagai Dae-Su pada film Old Boy, namun peran yang ditampilkannya sangat mendukung unsur ketegangan dalam film ini. Beberapa yang mungkin kita ingat adalah bagaimana ia membentur kepala pada tombol lampu untuk menunjukkan kode morse, bagaimana ia melempar batu ke kepala Ki-Woo, dan menikam Ki-Jung saat pesta. Peran yang ditampilkannya bisa dikategorikan gila yang psikopat.

Sumber : Warner Bros Pictures / DC Films
Joker – Dua orang pernah menang untuk peran yang sama pada acara Academy Awards, yaitu alm. Heath Ledger dan Joaquin Phoenix. Mereka sama-sama menang untuk peran Joker. Alm. Heath Ledger menang dengan peran psikopatnya yang membuat Christian Bale dalam filmnya sendiri. Sementara, Joaquin Phoenix menang dengan pendekatan Joker yang lebih realistis dengan bumbu penyakit mental “Schizophrenia”. Perannya sebagai Joker tidak kalah ikonik dengan Jokernya Nolan. Bahkan sempat booming di Indonesia dengan kutipan, “Orang jahat berawal dari orang baik yang tersakiti”. Alih-alih menekannya pada semesta pahlawan, film “Joker” mengajak kita “memahami” seseorang sebelum ia memperoleh entitas Joker. Kita mungkin akan teringat dengan tarian joker, bagaimana ia tertawa dan menangis, serta berbagai keputusan yang bersifat impulsif-brutal yang dipilihnya. Untuk kali ini, orang-orang dengan mudah menebak Joaquin Phoenix akan menang sebagai aktor terbaik.

Sumber : A24
Midsommar – Ari Aster dikenal sebagai “The New Masters of Horror” bersama dengan Robert Eggers dan Jordan Peele berkat film horror yang tidak biasanya. Midsommar hadir berbeda dengan film horor pada umumnya dengan properti serta pencahayaan yang serba gelap. Kontras yang disajikan menimbulkan rasa yang tidak nyaman saat menontonnya. Hal lain yang begitu menarik perhatian pada film ini adalah penampilan dari Florence Pugh sebagai Dani, seorang mahasiswa psikologi pengidap gangguan kecemasan yang baru saja ditinggal mati oleh keluarganya. Dasar karakter yang begitu depresif membuat Florence Pugh menyajikan peran yang begitu “gila” seiring dengan naratif yang sama gilanya. Murung, menangis, dan berteriak.

Sumber : A24
Lighthouse – Jika sebelumnya kita hanya menemukan salah seorang karakter yang “gila”. Maka pada film ini, kita akan menemukan 2 orang penjaga mercusuar yang sama gilanya. Akting Willem Dafoe tidak perlu diragukan lagi. Ia begitu dekat dengan peran yang “gila”, depresif, serta bengis. Pada “Lighthouse” ia kembali sukses memerankan kepala penjaga mercusuar yang “gila” nan jorok. Yang menarik perhatian adalah, bagaimana Robert Pattinson mampu mengimbangi peran “gila”nya Dafoe sebagai seorang kacung mercusuar. Robert Pattinson yang konon merupakan anak didik dari Jack Nicholson, mungkin kedepannya akan menjadi langganan dari tipe peran “gila” seperti ini. Namun sayangnya, hanya Willem Dafoe yang memperoleh penghargaan sebagai aktor pendukung terbaik pada Film Independent Spirit Awards.

Sumber : Marvel Studios
Spider-Man : Far From Home – Sangat kecil kemungkinan seorang aktor “S Class” akan bermain pada film yang konon seperti “taman bermain”, kecuali jika mereka butuh ehmmm… (: Entah apapun yang mendasari pemikirannya, Jack Gyllenhaal benar-benar membawa angin yang sedikit lebih padat pada film yang dibintangi oleh Tom Holland ini. Jack Gyllenhaal sebagai Mysterio diceritakan seorang ilmuwan yang kalah saing dengan Tony Stark, ia kemudian berambisi untuk membalaskan dendamnya dengan menjadi pahlawan yang mampu bersinar setelah kematian Stark. Akting “gila”nya Jack Gyllenhaal disini terlihat lebih ke emosional dan depresif. Mungkin tidak sebagus perannya di “Nightcrawler”, namun cukup untuk menjadi MVP pada film ini.

Sumber : Netflix
Marriage Story – Bukan “gila” dalam arti yang sebenarnya. Lebih kepada pendalaman emosi dalam hubungan perceraian sepasang suami istri. Peran ringan yang begitu melekat sebagai Black Widow dan Kylo Ren membuat bakat sang aktor/aktris jarang mendapat porsi yang tepat. Di film inilah kemudan Scarlett Johanson dan Adam Driver mendapatkan kesempatan. Scene perdebatan antara mereka berdua akan memukau siapa saja yang menontonnya. Kita diajak untuk berada dalam satu ruangan dengan pasutri ini, dan merasakan bagaimana pedihnya hubungan mereka. Adam Driver yang terlihat nyaris “gila” dalam menghadapi perdebatan itu, kemudian pada suatu kesempatan menyanyi di sebuah bar dengan penghayatan emosional yang membuat penonton begitu simpati. “Being Alive… Being Alive… Being Alive…”

Sumber : Netflix
Mengapa akting gila bisa terlihat sangat mengagumkan di mata penonton? Banyak dari kita yang pasti bertanya demikian. Akting “gila” sangat dekat dengan situasi depresif pada kehidupan nyata. Manusia yang pernah berada pada situasi tersebut pasti akan merasa “cocok” melihat ada seorang tokoh yang mampu “mengerti rasanya” situasi tersebut. Selain itu, bagi mereka yang menikmati cerita dari film tersebut akan berusaha memproyeksikan emosi mereka pada tiap kejadian yang terjadi. Akting “gila” menjadi visualisasi akan puncak emosi yang sering kali tidak mampu kita utarakan dalam kehidupan nyata yang “chaos”. Akting “gila” yang meledak-ledak juga disajikan untuk memberikan kepuasan kepada penonton sebagai wujud seseorang menjadi superior dalam situasi yang sangat depresif. Karena pada dasarnya setiap manusia senang saat menjadi superior entah dalam hal sederhana ataupun masif. Dan menurut saya situasi “bangkit sejenak” itulah yang membuat mereka jadi senang saat menonton akting “gila”.
Tulisan telah diunggah di Instagram pada 10 Maret 2021