Oleh Benny D. Susanto, Divisi Konten Kamisinema

COVER PHOTO – sumber : 9gag.com

“Finish Him! Finish him? Just finish me!” menjadi respon pertama saya selepas menonton Mortal Kombat garapan Simon McQuoid ini. Entah luput dari perhatian sang sineas atau sudah terbutakan dengan dalih “mari remake film jadul dengan budget megah, pasti sukses!”. Alih-alih memperkuat tiap karakter yang memang menjadi ciri khas permainan video bertema gore sadistic tersebut, McQuoid menghadirkan karakter menye-menye, Cole Young (Lewis Tan) sebagai tokoh utama dengan harapan bisa membuat sebuah lead character yang mampu memberi nyawa, namun hanya menjadi distraksi untuk menikmati warna karakterisasi dalam film ini. Performa yang diberikan Tan terasa tidak sepenuh hati dan hanya berusaha berakting dalam batasan “superhero development = loser-find a way-fail-success” serta didukung dengan backstory bahwa ia keturunan Scorpion. 

Lewis Tan sebagai Cole Young – Sumber : Dok. New Line Cinema / Warner Bros Pictures via IMDb)

Hadirnya karakter Liu Kang cs pun tidak tersuntikkan pengembangan yang berarti, baik waktu tampil yang sedikit ataupun memang fokus yang terpusat pada Cole Young sehingga membuat ansambel karakter yang muncul hanya sepintas dan tidak berarti. Pemilihan Kano sebagai salah satu karakter pendukung, alih-alih cameo, menjadi keputusan terburuk. Hal ini terlihat saat sosok Kano dipaksa menjadi pembunuh bayaran mesum dan garing, ketimbang garang, misterius, dan cadas. Memang, poin penjualan cerita dari film ini ialah rivalitas Sub-Zero vs Scorpion, namun hal tersebut kurang terfokus serta hanya jadi “penjilat” bagi para penonton (apalagi Indonesia) yang mengelu-elukan kehadiran Joe Taslim sebagai Sub-Zero yang memang, harus diakui, Taslim berhasil memberikan performa terbaiknya dan juga berhasil menjadi satu dari sekian kecil hal bagus dari film ini.

Liu Kang dan Kung Lao dalam Mortal Kombat – Sumber : Dok. New Line Cinema/Warner Bros Pictures via IMDb

Bisa dibilang film adaptasi gagal menggunakan formula yang hampir sama, fan-serving. Mencantumkan hal ini memang baik untuk segi penjualan dan penceritaan, namun ketika ini menjadi fokus utama membuat film adaptasi, hasil kurang memuaskanlah yang diraih. Menjadi sebuah langkah kontradiktif, ketika film adaptasi seperti Mortal Kombat bertumpu pada niatan fan-serving, namun malah mendapatkan cemooh dan respon negatif dari penonton dan penikmat dari karya asli tersebut. Salah satu contoh, saat tokoh Kung Lao mengeksekusi lawannya dengan salah satu jurus andalannya dalam “Fatality”, Kung Lao menyebutkan kata “Flawless Victory” dimana dalam permainannya, ucapan itu sebagai tanda kemenangan namun dalam film terasa klise dan dipaksakan. 

Film adaptasi dari permainan video konsol – Sumber : variety.com

 Tidak hanya Mortal Kombat (2021), jika kita mengingat kembali, formula tersebut dipakai dalam beberapa film, namun herannya meraih respon yang berbeda. Sonic The Hedgehog (2020) dan Wreck It Ralph (2012) contohnya, mengangkat dengan tema permainan arcade & video era 80 dan 90an, tapi bisa sukses dan diterima penonton berkat kepiawaian dalam mengembangkan cerita serta visual yang ingin disajikan. Keduanya sadar, mereka mengangkat sebuah legacy yang tidak sembarangan digarap. Beda halnya dengan nasib Pixels (2015) & Tekken (2009), dimana keduanya hanya ingin mencekoki para penonton dengan fan-serving, namun luput dari mengembangkan cerita yang apik dan berbeda. Pixels dengan mengangkat para pemain arcade yang menyelamatkan dunia dari alien menyerupai karakter permainan arcade 80an, namun hanya menggunakan referensi tersebut sebagai gimmick untuk menutup penceritaan nyeleneh, serta Tekken dengan visual setengah hati dan pengembangan karakter yang tidak pakai hati.

It’s all about money, people – Sumber : depositphotos.com

Jika film ditunggangi sebagai kendaraan uang bagi para perusahaan besar, inilah hasilnya. Bukan terjadi pada film adaptasi saja, bahkan hampir semua film yang dasarnya lahir dari kesuksesan film sebelumnya, kebanyakan merasakan kutukan dari kerakusan ini. Alhasil para film seperti Mortal Kombat hanya menjadi bagian dari sejarah gagalnya media film menyampaikan pesan dan makna indah dari dunia, karena terbutakan dengan alasan realistis seperti keuntungan, dengan kata lain: uang, uang, dan uang.