Oleh Intan Bintang Pratiwi, Divisi Konten Kamisinema

Perang yang  terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia telah merenggut banyak nyawa yang tidak dapat terhitung lagi jumahnya. Egoisme, keserakahan, perbedaan ideologi serta naluri-naluri manusia lainnya merupakan penyebab utama sebuah perang dapat terjadi. Keinginan suatu individu atau kelompok untuk mendominasi dan menundukan pihak lain seakan tidak terbendung dan pada akhirnya meledakkan banyak nyawa ditengah medan pertempuran. Tak peduli terlibat atau tidak, tua atau muda, pria atau perempuan, semuanya luluh lantah karena fraksi-fraksi yang tidak bertanggung jawab. Kemanusiaan seakan tidak ada harganya di medan perang. Kemiskinan, kelaparan, penyiksaan, dan berbagai kondisi memilukan lainnya seolah dibungkam oleh suara gempuran senjata yang tiada sudah. Dalam kondisi tersebut, sebagian orang tidak lagi peduli tentang siapa yang akan menang, namun berpikir keras bagaimana mereka harus berjuang untuk bertahan hidup dan melaluinya. Film animasi klasik tahun 1988, Grave of The Fireflies telah merangkum dengan apik realita penuh kepiluan yang terjadi selama masa-masa gelap akibat peperangan. Menyorot dua mata koin umat manusia yang penuh dengan kekuatan dan juga keputus asaan. Film yang mungkin akan menjadi film terfavorit namun sekaligus film yang tidak akan ditonton untuk kedua kalinya oleh seseorang. Selamat membaca!

Sumber : Studio Ghibli

Realita sosial tentang dua jiwa penuh kepolosan yang harus bertahan hidup ditengah perang di Jepang merupakan suatu premis yang ditawarkan dalam salah satu film produksi Ghibli ini. Grave of The Fireflies adalah film ke tiga yang dirilis oleh Ghibli dan merupakan film pertama mereka yang tidak disutradari oleh Hayao Miyazaki, melainkan oleh Isao Takahata. Menariknya, selain menggaet seorang sutradara baru, Grave of the Fireflies juga mengusung tema yang berbeda dari film-film sebelumnya. Setelah konsisten menampilkan grafis penuh warna yang memukau serta cerita dunia fantasi yang ringan namun menarik untuk diikuti, Grave of The Fireflies hadir dengan kisah yang memilukan dan begitu menohok realita.

Film ini diangkat dari cerita pendek yang ditulis oleh Akiyuki Nosaka, seorang penulis novel yang saat kecil tinggal di Kobe, tempat terjadinya peperangan yang menjadi latar film Grave of The Fireflies. Kisah ini diilhami oleh pengalaman pribadi sang penulis yang berusaha bertahan hidup ditengah peperangan di kampung halamannya saat ia kecil.

Sumber : Studio Ghibli

Grave of the Fireflies bercerita tentang seorang kakak laki-laki bernama Seita yang berusia 14 tahun dan adiknya Setsuko yang tinggal di suatu desa di Jepang. Saat itu, ayah mereka merupakan seorang tentara yang bertugas di medan perang sehingga mereka hanya tinggal dengan sang Ibu yang juga sakit-sakitan. Cerita dimulai saat desa tersebut diserang oleh pasukan militer Amerika melalui jalur udara. Seita dan Setsuko yang terpisah dengan sang ibu saat itu berusaha berlindung kesana kemari dan bersembunyi dilubang yang sengaja dibangun oleh masyarakat setempat untuk berlindung. Saat serangan mulai mereda kedua kakak adik itu memutuskan untuk keluar dan mencari ibunya. Naas, sang ibu ternyata terkena serangan tersebut dan tidak lama setelahnya meninggal. Mirisnya, mayat-mayat yang bergelimpangan akibat serangan tersebut dikremasi dengan cara yang sangat memilukan yaitu dengan dikumpulkan disatu tempat dan dibakar bersamaan.

Sumber : Studio Ghibli

Saat itu, Seita memutuskan untuk membawa adiknya tinggal ditempat saudara jauhnya. Namun ditengah kondisi perang yang tidak terelakan, Seita dan Setsuko diperlukan kurang baik dan dianggap menjadi beban dalam rumah tersebut. Berbekalkan beberapa barang dan sedikit tabungan peninggalan kedua orang tuanya, kedua bocah polos tersebut memutuskan untuk meninggalkan rumah itu dan mencari tempat tinggal baru. Sebuah terowongan sempit ditepi danau menjadi satu satunya tempat yang dapat mereka tinggali saat itu.

Adegan demi adegan yang menampilkan perjuangan dua bocah polos itu begitu membekas di hati penonton. Salah satunya adalah ketika sang kakak mengumpulkan ratusan kunang-kunang lalu membawanya masuk kedalam terowongan dan kemudian menjadi sumber cahaya untuk mereka tidur. Seita juga melakukan berbagai macam cara untuk mencari makanan untuk dirinya dan sang adik, termasuk cara licik seperti mencuri. Film ini berakhir sangat tragis dengan kematiaan keduanya yang cukup membuat penoton terpukul.

Sumber : Studio Ghibli

Film ini membuka mata kita tentang bagaimana perang dapat mengubah manusia menjadi makhluk yang sangat apatis. Bukan hanya karena perang, namun egoisme serta ketidak pedulian manusia juga berperan penting dalam kematian kedua bocah tersebut. Film ini memberikan kita pelajaran bahwa alasan terbesar kita untuk tetap hidup adalah alasan kemanusian itu sendiri. Seberapa besar kebergunaan kita terhadap orang lain merupakan ukuran seberapa berkualitas kehidupan kita.  

Tulisan telah diunggah di Instagram pada 21 Maret 2021