Ditulis oleh Putu Bayuwestra
Saya pernah berpendapat, bahwa di kemudian hari, akan ada film dengan usaha rekonstruksi bentuk layaknya, “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas.” Melalui Golden Leopard yang diraih, bukan sebuah kebohongan, jika film ini akan memiliki impact-nya tersendiri. Dan itulah yang saya bayangkan ketika pertama kali mengenyam film “Leonor Will Never Die” di JAFF 2023 kemarin.

Namun jelas, tidak hanya “Seperti Dendam…” yang sepenuhnya menghantui saya. Banyak hantu-hantu lain yang gentayangan selama 99 menit film berjalan. Maksud saya, saya sangat suka bagaimana Martika Ramirez Escobar, selaku sutradara menyajikan banyak pengalaman menarik, baik dari gaya penceritaan maupun bentuk yang dibawa– dan tepat sebelum tulisan ini jadi, kita mendapat pengumuman yang membahagiakan, sebab “Leonor Will Never Die” berhasil menyabet Geber Award serta Silver Hanoman pada perhelatan JAFF ke-17 tahun ini.
“Leonor Will Never Die” berkisah tentang seorang perempuan tua yang bernama Leonor Reyes, yang tinggal bersama anaknya, Rudie. Mereka hidup dalam ekonomi yang serba pas-pasan. Namun siapa sangka, Leonor dulu adalah seorang pembuat film aksi yang sukses di industri film Filipina. Suatu ketika, Leonor yang gemar membeli kaset film, menemukan sebuah iklan yang sedang mencari skenario untuk film. Merasa tertarik, Leonor lalu mengambil arsip skenario yang belum selesai. Skenario ini menceritakan seorang pemuda tangguh, bernama Ronwaldo yang ingin membalas dendam atas kematian saudaranya di tangan para preman. Leonor yang cukup bingung akan bagaimana ia menyelesaikan skenario itu, mencari ide-ide segar yang membawanya pada tragedi ketiban TV. Leonor seketika tak sadarkan diri saat itu, dan disinilah permainan film ini dimulai. Leonor yang mengalami koma, rupanya di sisi lain, sedang masuk ke dalam cerita yang ia tulis. Sebuah pergulatan antara kehidupan nyata dan imajinasi kemudian terjadi, ketika Rudie berusaha untuk membangunkan Leonor, dan Leonor yang bergelut dalam tidurnya untuk mewujudkan akhir cerita naskahnya segala kemungkinan ide tergila yang pernah ada.
Seperti yang saya singgung di awal. Jika “Seperti Dendam…” bermain dengan bentuk film-film Indonesia tahun 80-an, maka “Leonor Will Never Die” pada sebagian durasi filmnya, bermain melalui bentuk melodrama Filipina di tahun-tahun yang tak jauh beda. Bukan hanya bentuk, namun konteks penceritaan pun tampaknya ikut digandeng sang sutradara dalam film. Tokoh pria macho, yang didampingi gadis cantik, seakan menjadi tema populer pada pada produk film dan televisi global pada era sebelum milenium ketiga. Inilah yang kemudian menjadi basis selera ide dari Leonor– yang di kehidupan nyata, Rudie yang berusaha mewujudkan skenario ibunya seolah terombang-ambing karena cerita dianggap sudah ketinggalan jaman. Martika Ramirez Escobar secara kuat mampu menyajikan rekonstruksi pada film ini dengan begitu menyakinkan– baik dari segi ide, visual, dan penokohan. Tokoh Ronwaldo, yang berani, heroik, berbadan kekar, dan gaya yang over-masculin hadir memberikan kesan nostalgia bukan hanya kepada Leonor, namun juga bagi mereka yang pernah melalui era itu, atau setidaknya pernah menonton produk-produk di era tersebut. Yang kemudian menjadi kunci lain dari kuatnya upaya rekonstruksi ini adalah pemilihan tone warna mencolok dan kusam di saat yang bersamaan. Teknik pengambilan gambarnya pun terasa cukup memukau dengan movement-movement khas yang mendukung sekuen aksi. Walau di hanya sebagian kecil titik, pengambilan gambar pada dunia cerita Ronwaldo terasa memang sudah diambil dengan kamera pasca seluloid.
Pengaburan naratif yang berjalan berselingan antara dunia imajinasi dan dunia nyata filmnya masih menjadi pengalaman yang sulit dilupakan setelah menonton. Ialah bentuk kesadaran sang sineas akan batasan tipis antara dunia fiksi dan kenyataan hidup, maka disebut sebagai metafiksi. “Beyond the Fiction”. Konsep ini terbilang luar biasa menariknya, dimana kita sebagai penonton diajak untuk mempertanyakan eksistensi kehidupan dan bagaimana alur hidup itu berjalan. Dalam upaya metafiksi, kita bisa melihat ada cerita di dalam sebuah cerita. Ini mengingatkan saya pada film “The Truman Show” yang rilis 20 tahun silam, serta film-film dimana tokohnya berusaha berinteraksi dengan penonton. Konsepnya jelas beda, namun bentuk kontemplasi yang dimunculkan membuat kita akan bertanya-tanya, “manakah yang nyata?”. Leonor yang menulis skenario tentang Ronwaldo, masuk ke dalam cerita yang dia buat ketika mengalami koma. Ia kini secara langsung tidak hanya menjadi bagian dari skenario yang dia buat, namun juga tetap sebagai kreator dari cerita petualangan Ronwaldo. Suatu ketika, Leonor di kehidupan nyata filmnya sedang koma tiba-tiba hilang. Bukan hanya Rudie, saya juga bingung kemana perginya Leonor. Di akhir, diketahuilah kemudian bagaimana cara permainan metafiksi ini bekerja dengan cara yang agak “nyeleneh”. Bahkan, cara Martika Ramirez Escobar mengakhiri filmnya terbilang sangat out of the box.
Secara personal, hal yang menarik lainnya dari film ini adalah penyajian karakter yang unprime, yang menjadi sebuah bentuk kritik sekaligus kontras dari film-film aksi yang dibuat oleh Leonor dan produk-produk populer lainnya di era itu (bahkan sejujurnya hingga masa kini). “Dunia bukan semata permainan untuk pria tampan, gadis cantik, atau pria kekar yang menjadi pahlawan dan gadis seksi yang akan menjadi pendamping hidupnya.” Setiap karater utama (sejujurnya saya ragu kalian juga mengalami pengaburan tentang cerita mana yang ada di dalam cerita) dalam lini masa dimana Leonor hidup, ditampilkan kurang prima. Leonor yang sudah tua, Rudie yang hopeless dan kurang tampan. Mereka yang hidupnya tak terlalu cerah, berimajinasi untuk membuat cerita dengan tokoh-tokoh yang gemilang, sungguh ironi di atas ironi. Saya kemudian menjadi sadar bahwa kontras inilah yang rupanya membuat film ini menjadi hidup. Perbandingan-perbandingan yang ada memunculkan simpati kepada para tokoh-tokoh di film ini.
Komedi jadi hal tidak akan luput dari film. Selain karena konstruksi bahasa Tagalog dan logatnya yang asing di telinga saya, sebagai orang Indonesia– yang sejujurnya terdengar menjadi cukup lucu; Martika Ramirez Escobar berhasil menyajikan komedi yang segar, terasa lokal, serta absurd. Bahkan di bagian paling akhir filmnya, saya berhasil dibuat tertawa terpingkal-pingkal melalui sekuen musikal serba apa adanya.
Jika bicara kekurangan, tidak banyak yang bisa saya sampaikan, sebab film ini kelewat menghibur namun juga solid secara konsep. Akan tetapi, ada beberapa hal yang mungkin menjadi catatan saya. Terlepas dari seberapa mutlak dan bebasnya seorang penulis atau kreator membuat kisah dalam filmnya, atau wujud dari takaran fiksi dari sebuah kisah. Saya masih dibuat penasaran dengan bagaimana sistem metafiksi ini bekerja, seta bagaimana aturannya. Di satu adegan, Leonor berhasil untuk “mengedit” atau “melanjutkan” cerita di dunia Ronwaldo secara mudah, tapi di bagian lainnya, seakan ini menjadi tidak mungkin. Tapi bagi saya, ini bukanlah sebuah kekurangan berarti. Hal yang mungkin cukup kurang lainnya adalah terkait pembagian screen time. Di beberapa titik saya pikir butuh durasi yang lebih lama pada dunia tempat Ronwaldo hidup, dan sedikit lebih banyak eksplorasi untuk tokoh Rudie. Namun sekali lagi, seperti kalimat ketiga sebelum kalimat ini.
Tidak “trying so hard” untuk menyampaikan pesan tertentu, film ini untuk beberapa saat bisa memunculkan momen yang menghangatkan tentang kehadiran keluarga, serta bagaimana seorang manusia bergelut daya pikir dan imajinasi untuk menggapai mimpinya. “Leonor Will Never Die” karya Martika Ramirez Escobar bukan semata-mata film yang bermain dalam bentuk-bentuk yang ekploratif, namun juga hadir dengan penceritaan yang sangat liar, solid, dan segar. Saya merasa film ini layak untuk menjadi “Everything Everywhere All at Once” selanjutnya, yang bisa segera tayang di bioskop-bioskop Indonesia.
Personal Rating 4,5 / 5