Oleh Indigo Gabriel Zulkarnain, Divisi Konten Kamisinema

Sumber : Screencraft
Essay teranyar Martin Scorsese bagai korek api yang membakar kembang api perdebatan tentang sinema layaknya 2 tahun lalu. Kemajuan teknologi yang mendiskreditkan banyak pekerjaan esensial apresiasi sinema menjadi kepihatinan utama bagi Martin dalam kritiknya terhadap kelahiran dan perkembangan streaming service.
Pendegradasian sinema menjadi konten menjadi gorengan utama perbincangan. Menyenangkan untuk mempreteli argumentasinya dan mengambil keresahannya sebagai bahan introspeksi sinema dalam negri. Tentang sulitnya akses sinema lawas Indonesia dan prospek penyelamatan film dalam negri.

Sumber : Alamy
Martin Scorsese. Bisa dibilang menjadi terbesar dalam jagat sinema Amerika Serikat, Hollywood, bahkan dunia. Salah satu pionir lahir kembalinya Hollywood juga mempertahankan reputasi sempurnanya dengan film-film yang ia sutradarai. Mulai dari Taxi Driver di tahun 70an, Raging Bull dan The King of Comedy di tahun 80an, Godfellas di tahun 90an, hingga karya kontemporernya seperti The Departed, The Wolf of Wallstreet, Silence, hinga yang teranyar The Irishman menjadi ikon terdepan “Sinema”. Ia juga merupakan seorang pengarsip film. World Cinema Project, — sebuah projek restorasi film — menjadi medianya menyelamatkan film-film lawas namun menarik dari seluruh dunia. Bahkan bapak sinema Indonesia, Usmar Ismail tidak luput dari perhatiannya. Film Lewat Djam Malam yang ikut serta direstorasi dalam projek ini. Misinya hanya satu, “to preserve and present marginalized and infrequently screened films from regions generally ill equipped to preserve their own cinema history.”
Sebagai seorang yang hormat akan seni dari sinema, Scorsese pula rajin merekam catatan kaki dan kritik dengan menulis. Essaynya yang berjudul “The Persisting Vision: Reading the Language of Cinema” sempat panas. Scorsese mengkritik film adaptasi superhero not a cinema. Essay teranyarnya juga tidak kalah kontroversial.
“Il Maestro: Federico Fellini and the Lost Magic of Cinema”, berbicara ekstensif mengenai Federico Fellini dan peran besarnya terhadap sinema. Semua mencintai Fellini bagaimana bisa kontroversi? Perdebatan panas ada pada pembukanya.

Sumber : Dokumentasi Warner Bros
Scorsese membuka essay dengan deskripsi imaginer betapa menyenangkannya menjadi penikmati film pada tahun 1959, kontras dengan kehidupan masa kini dimana “the art of cinema is being systematically devalued, sidelined, demeaned, and reduced to its lowest common denominator, ‘content’.” Scorsese bercerita mengenai kehidupan modern dan kapitalisme streaming service – meskipun dalam satu sisi membantunya sebagai filmmaker – menghancurkan dan mendegradasi seni dalam sinema. Tentang bahagianya pergi ke bioskop, menikmati film dilayar silver dengan audience yang berbeda dengan duduk dirumah dan sistem suara yang seadanya. Mengingat film barunya yang akan hadir diproduksi oleh Apple TV+, saya rasa langkah ini sangat ballsy.
“If further viewing is “suggested” by algorithms based on what you’ve already seen, and the suggestions are based only on subject matter or genre, then what does that do to the art of cinema?” Martin kemudian membicarakan keluhan utamanya tentang penggunaan algoritma A.I. yang menggantikan peranan kurator film. Menurutnya, kurasi menjadi bentuk tindakan murah hati dalam membagikan pengalaman pribadi sang kurator memaknai sinema. Namun pertimbangan penggunaan algoritma berdasarkan “apa yang sering ditonton” merupakan tindakan menutup pagar eksplorasi sinema pada horizon yang lebih luas. Martin menutup bagian pembuka essaynya dengan kalimat yang sangat passionate, “The cinema has always been much more than content, and it always will be, and the years when those films were coming out from all over the world, talking to each other and redefining the art form on a weekly basis, are the proof.”
Media sosial meledak dengan banyaknya argumentasi, khususnya pada point “Scorsese si kolot yang tidak maju bersama jaman.” Mengingat bahwa media sinema pada dasarnya selalu bervolusi seperti tahun 1930an tentang penggunaan suara, tahun 1960an tentang penggunaan warna, dan tahun 1990an tentang penggunaan kamera digital. Memang untuk berkembang, pada praktiknya tidak membutuhkan snobbery namun adaptasi.

Dokumentasi Warner Bros
Saya rasa kemarahan Martin ini datang dari hati dan passionnya sebagai pengarsip sinema. Keprihatinannya muncul bukan pada konsep film VoD tidak layak ditonton, namun menghilangkan aspek manusiawi kurasi berhasil mendegradasi makna film sebagai sinema menjadi konten. Tak lebih dari hiburan murah.
Entah Scorsese ada dipihak yang benar atau salah, saya tidak tau. Tapi jika menilik konsep perdebatan yang terjadi pada lingkup industri disana, tak heran mengapa industri film dalam negri kalah jauh. Ketika sutradara yang sangat dihormati berdebat tentang pendefinisian sinema, terlebih lagi melestarikan sinema, industri dalam negri malah menyibukkan diri mendebatkan apakah nonton film illegal etis atau tidak.
Perdebatan panjang yang tak berujung, tentu saja menutup ruang diskusi lain tentang film. Di satu sisi sang kapitalis memohon agar filmnya ditonton secara legal, disisi lain sang proletar mencari pembenaran diri dalam menonton bajakan. Jauh dari pemecahan debat filosofis tentang film apa yang patut ditonton, film apa yang harus diselamatkan, dan film apa yang – seperti Martin Scorsese sebut – bukan sinema. Jika melihat ada berapa banyak perusahaan film berani menayangkan film lawas legendaris Indonesia di platform VoD mereka? Adakah yang sudah menggagas projek arsip film nasional untuk eksebisi? Dan yang paling menyakitkan adalah apakah membuat konten big budget untuk film selanjutnya jauh lebih penting dari pelestarian film film lawas dalam negri?
Saya rasa untuk berkembang jauh, industri dalam negri harusnya lebih bahagia ketika ada film nasional yang berhasil di restorasi, ketimbang ketika filmnya berhasil masuk Netflix.
Tulisan telah diunggah di Instagram pada 7 Maret 2021