Oleh Rudra Maitri, Divisi Konten Kamisinema

Bepikir bahwa tawa sebagai alat pencair suasana memang benar. Meneriakkan keresahan atas suasana canggung setelah lihat-lihatan satu sama lain memang menenangkan rasanya, seperti membuka jendela membiarkan angin masuk dalam ruang sumpek. Tetapi, bukannya bercanda harus tahu waktu? Apakah selalu suasana cair yang kita butuhkan? Memangnya hidup harus selalu mengapung di atas? Bagaimana jika tawa hanya mematahkan potensi kedalaman penyelamanmu?

Dalam artikel ini, penulis membahas tentang kesalahan penggunaan humor dalam film-flm Marvel Cinematic Universe. Bagaimana MCU menyelamatkan diri mereka dari bahaya yang tidak ada.

Sumber : Marvel Studios / Walt Disney Pictures (2019)

“Dear MCU, Are You Taking Yourself Seriously?”

Saya ingat di waktu lebih kurang sebelum musim penghargaan 2020, timbul keributan kecil antar-penikmat-film yang disebabkan oleh pernyataan sutradara legenda Martin Scorcese (The Wolf of Wall Street, Goodfellas, Raging Bull) tentang film-film Marvel Cinematic Universe (MCU). Martin megatakan bahwa film-film MCU bukanlah sinema melainkan memiliki kodrat yang sama dengan taman rekreasi. Tentu film seperti apa yang bisa atau tidak bisa disebut sinema bukanlah atas kehendak Martin. Tetapi dengan alasan pria dibalik judul-judul klasik tersebut, “… bukan manusia yang mencoba memberikan pengalaman emosional dan psikologis bagi manusia lain”, dengan segala maaf, saya setuju. 

Sumber : Marvel Studios / Walt Disney Pictures (2018)

Diibaratkan sebagai orang, MCU merupakan orang yang mempermalukan identitasnya demi validasi. Anggap MCU sebagai Budi, seorang remaja laki-laki yang menderita penyakit gagap. Sebelum teman-temannya mengolok di belakangnya, Budi membercandai kegagapannya terlebih dahulu. Memang, suasana cair, tetapi apakah itu perilaku yang benar? Ia tahu betul bahwa tidak patut dirinya atau individu difabel lain diolok atas disabilitasnya, tapi tetaplah Budi lakukan karena ia merasa akan kalah jika harus mengonfrontasi. 

Sumber : Marvel Studios / Walt Disney Pictures (2019)

Itulah yang Marvel selama ini lakukan, malu menunjukkan identitasnya (dalam kasus ini, momen dramatis) demi validasi (takut dianggap klise). Contoh terkasarnya terdapat di Avengers: Infinity War (2018) ketika Gamora (Zoe Saldana) membuat kekasihnya, Starlord (Chris Pratt), berjanji untuk membunuhnya jika Thanos (Josh Brolin) menangkapnya. Di mana, adegan klimaktik yang telah mencapai kondisi air tenang itu BUYAR akibat lelucon “kekuatan”invisibility Drax (Dave Bautista) hanya karena apa? Adegan diakhiri dengan ciuman. Penulis, dengan ketidakdewasaannya, disesaki kecanggungan dari merasakan emosi sehingga menghadirkan Drax untuk mewakili tawaannya terhadap keseriusan Gamora dan Starlord. Satu dari banyak contoh yang lain ada di Thor: Ragnarok (2017) ketika Thor (Chris Hemsworth) tebentur kepalanya oleh bola yang ia lempar sendiri setelah monolog panjang merayu Valkyrie (Tessa Thompson) untuk beraliansi hanya karena monolog tersebut sedikit emosional/motivasional. Final-fight-final-fight yang seharusnya such a big deal karena sangat riskan bagi nyawa para hero tercinta sempat-sempatnya disumukkan oleh lelucon hanya karena MCU khawatir jika dibuat serius malah gak dapet, belum ditambah ajang fan-pleaser-nya. 

Sumber : Marvel Studios / Walt Disney Pictures (2018)

Mental pengecut, mundur sebelum mencoba. Saya mengerti bahwa yang MCU mencoba menyajikan kisah pahlawan yang enggak kaku-kaku amat kayak dulu. Tetapi, santai bukan berarti mengolok diri sendiri, sobat. Banyak cara lain untuk memberi kesan selengean selain melukis makeup badut di wajahmu sendiri. Have some respect for yourself. Kalau tidak bisa menghargai karya sendiri, buat apa dirilis? 

Tulisan telah diunggah di Instagram pada 20 Februari 2021