Oleh Jason Ezra

Saya terobsesi dengan film Punch-Drunk Love karya Paul Thomas Anderson. Aneh terdengar apabila pernyataan itu saya teriakan ke seluruh penjuru dunia melalui tulisan ini. Tapi saya akan menceritakan sekaligus menjelaskan mengapa film ini menjadi salah satu underrated gem dari sang mantan kekasih Fiona Apple. Walau ketika menonton kita akan menemukan bahwa film ini disebabkan oleh Barry dan tragedi phone sex-nya.

 Untuk mengetahui lebih dalam mengenai cerita ini, mari kita simak sinopsi berikut yang saya ambil dan parafrase ulang dari internet. Barry Egan, seorang pria lajang yang memiliki perusahaan yang memasarkan penyedot toilet dan barang-barang baru lainnya. Dia memiliki tujuh saudara perempuan sombong yang “emotionally abusive”. Suatu hari, ia menyaksikan kecelakaan mobil yang tidak dapat dijelaskan, mengambil sebuah harmonium yang ditinggalkan dari jalan, dan bertemu dengan Lena Leonard (rekan kerja Elizabeth, salah satu saudara perempuannya). Dari situ dirinya mengalami petualangan panjang dalam mempertahankan relasinya dengan Lena sembari menyelesaikan masalah  ketakutan sosialnya, yang kemudian berujung ke tragedi yang sudah saya sebutkan di atas.Jika dilihat sekilas, film ini memiliki struktur naratif tiga babak, tipikal romansa komedi pada umumnya. Seorang pria menginginkan seorang wanita – sang pria berusaha mendapatkannya – sang pria mendapatkannya. Sebuah pola naratif yang sering kita temui pada film rom/com terutama di ranah perfilman Indonesia. Namun, ada sesuatu yang lebih melankolis yang ditawarkan cerita ini. Ambil saja contoh, keadaan mental sang tokoh utama, Barry Egan. Tanpa penulisan karakter dan juga dialog yang cerdas, karakter Barry akan terasa dua dimensi. Di sini Barry digambarkan memiliki social anxiety dan juga post-traumatic stress disorder (PTSD) tanpa sekalipun disebutkan dalam film. Audiens diminta untuk mengambil kesimpulan sendiri dari seluruh aksi Barry yang aneh dan terkadang membingungkan. Saat Barry sedang kencan pertama dengan Lena, dirinya didapatkan merusak toilet restoran secara agresif dan meledak-ledak. Lantaran Lena, wanita yang dirinya ajak kencan, membawa – bawa cerita Barry dikala muda, dimana seluruh kakak perempuannya sering mengejek dan juga mengolok Barry. Hal itu menjadi bagian dari trigger PTSD-nya yang akhirnya berujung ke aksi vandalisme di dalam toilet. Film ini dipenuhi karakter – karakter yang menarik dan juga membawa ceritanya ke next level. Pada awal film, Barry digambarkan sebagai orang yang tidak memiliki motivasi yang jelas dan juga cenderung melakukan hal ceroboh, namun perlahan dirinya menemukan sesuatu yang lebih daripada dirinya sendiri, Lena. Namun semua terancam berakhir saat Barry bermasalah dengan layanan phone sex beberapa waktu silam (kecerobohan ini tercipta karena efek dari kesepian itu sendiri) dan lebih lucunya lagi, Ia menelpon layanan tersebut hanya untuk bercerita secara kasual dan tidak lebih dari itu. Akibatnya, Lena mulai diancam oleh seseorang yang menjalani bisnis phone sex tersebut. Hingga akhirnya, saat Barry dan Lena baru saja pulang dari Hawaii, mereka berdua di lukai oleh preman suruhan boss pemilik bisnis telepon seks, sebut saja The Mattress Man. Pemuncakan konflik tersebut menjadi titik balik sekaligus perubahan karakter Barry Egan. Dengan penuh ketangguhan dirinya mendatangi The Mattress Man dan beradu mulut di sana. Dengan adanya Lena, Barry merasa kuat dan tidak tidak terkalahkan. Sepanjang satu jam dan 30 menit, kita akan ditemani oleh cerita yang menegangkan sekaligus mengharukan. Dengan naratif yang sangat menarik, film ini didukung dengan aspek sinematik yang tidak kalah apik. Sebut saja soundtrack yang diracik oleh Jon Brion, berhasil menggambarkan kondisi emosional Barry Egan yang membuat para pendengar tidak nyaman dan juga terusik. Membangunkan kita agar terus melihat seluruh aksinya. Di film ini Barry Egan tidak pernah berganti pakaian, selalu menggunakan setelan jas birunya. Shot – shot yang digambarkan juga begitu unik sehingga membuat kesan tersendiri terhadap setiap karakter. Kita sebagai penonton bisa menilai karakter Barry Egan dari setiap shot yang dibentuk. Semua berat aspek sinematik yang sungguh diperhatikan dan juga menjadi bagian besar dalam aspek naratifnya. Contoh saja, opening shot berikut:

source_ Film Punch Drunk Love

Shot tersebut sungguh menggambarkan karakter Barry Egan hanya dalam beberapa detik. Dirinya Nampak jauh dari kamera menandakan sepi dan juga kehidupannya yang dipenuhi dengan persembunyian. Dirinya juga dipenuhi warna biru yang melambangkan ketakutan dan juga depresi. Hal ini menjadi salah satu kekuatan film ini yang jarang sekali bisa ditangkap dalam satu kali menonton. Ini lah mengapa saya menonton film ini berkali – kali hanya untuk menangkap beberapa detail yang menarik dan juga menginspirasi.

Bisa dengan mudah dikatakan bahwa film ini adalah salah satu film terbaik Paul Thomas Anderson (Terlepas dari fakta mengejutkan tentang bagaimana dia sangat abusive dengan salah satu mantan kekasihnya, Fiona Apple) Ia berhasil memadukan kedua aspek naratif dan juga sinematik, meraciknya menjadi salah satu film dengan character study yang berhasil. Seorang protagonis yang tertelan dalam berbagai masalah sekaligus harus mendapatkan sesuatu yang dirinya inginkan sejak lama. Dipenuhi dengan pemilihan warna, dialog, dan juga pemeran yang pas. Membuat film ini begitu one of a kind dan ahead of it’s time. Semoga kedepannya semakin banyak pecinta film yang mengakui film ini sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa.