Oleh Lisa Nurholiza, Divisi Konten Kamisinema
Film adalah medium cerita, yang bisa mengungkap fakta, atau hanya sekadar fiktif belaka. Keadaan yang digambarkan dalam film pun beragam, juga sebagai alat tutur cerita, menceritakan yang sebenarnya, atau sekadar fiktif belaka.
Terlepas dari semua itu, film tetap akan melahirkan makna-makna baru soal tutur cerita yang mereka sampaikan.
Halu [si] nation; begitu juga dengan film-film genre politik yang seringnya menggambarkan keadaan terbalik atas realita yang ada, namun dibalik kepalsuan itu, terdapat makna yang bisa diambil, juga terdapat sebuah pesan tersirat akan kata-kata “inilah yang seharusnya terjadi”. Salah satu film Indonesia karya Lasja F. Susatyo, bertajuk “Sebelum Pagi Terulang Kembali (2016)” menggambarkan sosok anggota Kursi Senayan dengan integritas tinggi, ia rela mundur dari jabatannya untuk menghindari ketamakan anak keduanya yang mencoba melakukan tindak nepotisme, keadaan yang digambarkan sudah jelas berbanding terbalik dengan realitas yang ada, namun pesan-pesan dibaliknya, plot-plot pendukungnya, amat bermakna dan mampu menutupi kepalsuan keadaan si sosok Senayan. Berikut esai mengenai film Sebelum Pagi Terulang Kembali.
Keadaan yang setengah dipalsukan sebagai penggambaran keadaan normal kondisi sebuah negara sukses dituturkan lewat film bertajuk Sebelum Pagi Terulang Kembali arahan Lasja F. Susatyo yang rilis pada 2016. Mengisahkan tentang seorang lelaki paruh baya yang duduk di Kursi Senayan dengan integritas tinggi dan ia rela mundur dari jabatannya hanya untuk menghindari upaya nepotisme yang ingin dilakukan putra ke-2 nya lewat sebuah tender proyek pembangunan jembatan. Keadaan ini sangat jarang bahkan tidak ditemui di sejarah kedudukan senayan dimana anggotanya rela mengundurkan diri demi menghindari nepotisme. Namun, keadaan palsu atas realita yang terjadi dalam film ini pastinya memiliki makna dan sebagai alat tutur keadaan yang seharusnya terjadi.

Sumber: indonesianfilmcenter.com
Film yang menggambarkan integritas tinggi ini ternyata bukan pembenaran keadaan semata, namun film ini didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dimana pesan dan gagasan yang disampaikan memang bertujuan guna edukasi anti korupsi bagi para penonton. Nepotisme memang sangat lekat dengan kedudukan sebuah jabatan khususnya di Indonesia, hubungan darah maupun kerabat dijadikan sebagai akses khusus untuk menunjang ambisi hingga keuntungan pribadi. Namun kasus nepotisme tidak melulu soal siapa yang dibantu dan siapa yang membantu, namun soal siapa yang berambisi dan siapa yang ikut diuntungkan. Seperti dalam film ini, upaya seorang anak untuk dapat tender di proyek yang dipimpin ayahnya gagal karena ayahnya “tak memberi jalan”. Dengan ambisi yang menggebu si anak tetap melancarkan aksinya dengan mendekati kekasih adik perempuannya, yang juga duduk di Senayan, untuk melancarkan tender proyek miliknya, dengan jaminan si kekasih (yang sebenarnya sudah beristeri ini) boleh menikahi adiknya. Aksinya lancar, tendernya menang, ayahnya mundur jabatan, dan si adik perempuan mantap menajutkan ke jenjang pernikahan.

Sumber: indonesianfilmcenter.com
Hingga titik puncak dari semua problem di film ini, yang berbuntut pada nepotisme itu terbongkar saat isteri sah dari kekasih adik perempuan datang saat malam sebelum akad. Semuanya hancur dan terbongkar, adiknya kadung benci dan membatalkan pernikahan, kekasihnya juga sedjh lantaran tender sudah di-gol-kan, tapi tak jadi mempersunting adiknya. Hingga akhirnya semua terungkap dan mereka yang berbuat licik dijebloskan ke bui.
Penggambaran keadaan ini mendekati pada realita, namun tetap kontras jika harus dibandingkan dengan kondisi aslinya, banyak kasus korupsi dan nepotisme yang sudah berulang kali terjadi hingga menjadi maklum dan menjadi rahasia umum. Penggambaran sosok Yan, tokoh utama yang rela mundur jabatan demi menghindari nepotisme itu harus benar-benar direalisasikan dalam pemikiran dan tindakan orang-orang di Senayan, jangan terus menjadi sebuah bahan Halusinasi akan keadaan di negara ini dan materi bacaan pendidikan kewarganegaraan semata.
Tulisan telah diunggah di Instagram pada 14 Desember 2020