Oleh Lisa Nurholiza, Divisi Konten Kamisinema
Karakter realistis sangat jarang dihadirkan dalam sebuah film dengan dalih menunjang dramatisasi cerita, tanpa disadari itu menjadi sebuah pakem yang terbentuk sendiri dibenak para penonton kisah-kisah yang divisualisasikan. Lalu bagaimana jika karakter manusia dengan tindakan-tindakan mereka yang tak terduga, kesalahan setitik, kebaikan setitik, dijiplak penuh dalam sebuah karakter film? Siman dalam The Science of Fictions sudah menjawab pertanyaan tersebut.

sumber : twitter.com/angginoen
Film The Science of Fictions adalah film arahan Yosep Anggi Noen yang memiliki sebutan lain, yakni Hiruk Pikuk si Al Kisah. Film ini ditulis juga oleh Anggi sejak 2013 menurut pengakuannya, projek film ini juga didukung oleh Asian Project Market Busan, korea. Film ini diproduksi pada 2019 dan mendapat Special Mention di Locarno Film Festival, salah satu festival film paling bergengsi di dunia. Dan dalam ajang festival nasional pada 2020, film ini mengisi rentetan sepuluh nominasi FFI (Festival Film Indonesia), dansms memenangkan Kategori pemeran utama pria terbaik, yakni Gunawan Maryanto sebagai Siman dalam perannya di film ini, seorang yang dikisahkan menjadi saksi mata sebuah syuting luar angkasa di gumuk pasir kemudian ia dibungkam, lalu Siman menirukan gerak-gerik astronot selama bertahun-tahun.

sumber : twitter.com/angginoen
Karakter Siman terus dimunculkan sebagai sosok yang baik dan disanjung dari awal film, seperti karakter protagonis pada umunya. Namun, beberapa perilaku Siman akhirnya membawa kekecewaan bagi penonton karena perubahan karakternya yang cukup jomplang, Anggi mengakui tentang perubahan karakter ini saat sesi tanya jawab yang dilakukan virtual beberapa hari setelah film ini akhirnya rilis ke bioskop di Indonesia. Anggi mengatakan bahwa penciptaan karakter Siman memang berdasar pada realitas yang ada, bahwa seorang manusia adalah makhluk biasa yang sangat bisa melakukan kesalahan, begitu juga dengan karakter Siman yang ia ciptakan.

sumber : twitter.com/angginoen
Dari awal promosi, saat film ini akan tayang di bioskop, Anggi selalu menggembrokan “Siman akhirnya bergerak pelan selama 40 tahun”. Akhirnya muncul di benak saya mengenai bagaimana peran yang akan disajikan jika ia terus berakting pelan? Banyak pertanyaan yang berkecamuk juga soal pergerakan pelan Siman, apakah ia akan konsisten?.
Pertanyaan tentang konsistensi ini yang akhirnya menggiring saya untuk kembali ke bioskop setelah sembilan bulan. Film ini juga menjadi film pertama yang saya tonton di bioskop setelah pandemi. Pertanyaan saya terjawab saat masalah Siman di “masa kini” mulai muncul, dimana masalah ini didasari perkara uang, tiba-tiba Siman meninggalkan kebiasaannya. Begitu juga yang terjadi di akhir saat Siman tak mampu menahan birahinya. Jelas bahwa kelemahan karakter Siman adalah perkara uang dan perempuan, hal ini dibenarkan juga oleh Anggi saat Tanya jawab virtual.

sumber : twitter.com/angginoen
Anggi juga menyebutkan bahwa perubahan karakter yang terjadi pada Siman bukan semata-mata untuk merusak ekspektasi penonton soal karakter Siman, namun menambah realitas mengenai karakter manusia yang tidak luput dari masalah, layaknya makna Yin&Yang, tetap akan ada setitik keburukan diantara kebaikan. Alur dan plot yang tersaji sepanjang film ini juga sangat menggambarkan kisah realistik sesuai judulnya, hiruk pikuk. Bahkan, saking mendekatinya kisah ini pada realitas, banyak makna dan konteks yang bisa digali dalam kisah ini, baik tersurat maupun tersirat.
The Science of Fiction available in theater 9 December 2020
Tulisan telah diunggah di Instagram pada 25 Desember 2020