Oleh Putu Bayuwestra, Divisi Konten Kamisinema

The Mirror Never Lies” merupakan sebuah film yang dibuat bersama dengan pemerintah daerah Kabupaten Wakatobi dan World Wide Fund Indonesia, dengan tema besarnya adalah ekosistem laut Wakatobi dengan Suku Bajo Sampela yang tinggal di dalamnya. Berkisah tentang kehidupan seorang anak, seseorang yang menjadi bagian dari Suku Bajo Sampela;  merindukan ayahnya yang hilang entah kemana saat sedang melaut. Sepanjang berjalannya film, penonton diajak untuk menyelami kehidupan dan keseharian Suku Bajo; bagaimana mereka mencari makan dan uang, bagaimana mereka hidup bermasyarakat dan bertradisi, serta kehidupan Pakis, sang tokoh utama dalam memahami laut dan hidupnya. Ada beberapa hal yang kemudian sangat menarik untuk dibahas dalam film ini, mengenai capaian harapan, adat-budaya, dan filosofi.

sumber : youtube.com

Visi dalam produksi film menjadi suatu hal yang penting untuk ditetapkan sedari awal, karena akan menentukan harapan yang ingin dicapai. Entah sebagai media dokumentasi, informasi, pendidikan, hiburan ataupun fungsi lainnya, film haruslah memiliki visi yang jelas. “The Mirror Never Lies” nyaris membawa segala visi yang memungkinkan untuk dimasukkan ke dalam medium penceritaannya. Sinematografi yang ditampilkan bukan hanya mendokumentasikan keindahan lanskap rumah-rumah di atas laut, namun juga tentang setiap detail gaya hidup masyarakat Suku Bajo. Melalui film ini, dapat dilihat pola hidup, keseharian, kebiasaan, serta server adat-budaya yang menempatinya. Salah satu yang ditekankan selama film berlangsung, adalah bagaimana lumba-lumba atau lumo sangat memberi kontribusi besar dalam pekerjaan nelayan mencari tangkapan. Selain tentang informasi-dokumentasi, kerja sama yang dilakukan dengan Pemda Kabupaten Wakatobi serta WWF Indonesia, membuat film ini juga mengemban visi untuk mendidik. “Laut Bercermin” menyampaikan pentingnya menjaga ekosistem laut dengan penggunaan alat-alat penangkap ikan tradisional yang tidak bersifat destruktif, serta menjaga kebersihan kawasan pantai dari sampah plastik; secara berulang kali, menyuarakan untuk memilih jenis tangkapan, terutama untuk tidak menangkap ikan yang masih kecil. Sebagai sebuah fiksi, film ini dengan tenang mampu menyajikan hiburan yang mengundang rasa penasaran, gelak tawa, serta ketegangan, melalui dialog, perwatakan, dan narasinya. Walaupun jika boleh jujur, aspek hiburan masih tertutup dengan konsep dokumenter yang dibawanya.

sumber : youtube.com

Narasi dalam sebuah fiksi haruslah kuat, sehingga mampu mengantar “yang dimainkan” mencapai garis akhir yang dibentuk selama berjalannya film. Cerita yang disajikan dalam “The Mirror Never Lies” dibalut begitu apik dengan kebudayaan Suku Bajo Sampela, Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Plot utama film ini adalah tentang Pakis yang mencari ayahnya yang menghilang saat melaut. Dalam ketidaktahuannya mengenai sebuah ketidakpastian, Suku Bajo menyerahkannya kemampuan dukun. Menilik kepercayaan Suku Bajo pada dukun dan masyarakat Indonesia pada umumnya, terlihat bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih menaruh kepercayaan pada sesuatu yang berbau gaib. Tanpa banyak penjelasan yang memusingkan serta kesenangan dari kemungkinan benar di atas keraguan, pola pikir gaib selalu menawarkan jalan pintas untuk memperoleh sesuatu, begitu juga dengan Pakis. Berulang kali ia datang ke sandro (dukun) untuk mencari penerawangan tentang keberadaan ayahnya, melalui sebuah cermin pemberian ayahnya.bigbluebutton Cermin yang dibawa, diasapi dalam sebuah pedupaan, lalu dibacakan mantra dan diberikan pada Pakis untuk dilihat. Namun, yang dilihat Pakis tiap kalinya datang ke dukun itu, hanya pantulan wajahnya. Hal ini menjadi sebuah penggambaran bahwa Pakis tidak benar-benar kehilangan ayahnya, hanya saja selalu ada dalam dirinya, ingatannya. Dalam tiap jeda berjalannya cerita, disuarakan internal diegetic sound oleh Pakis, tentang bagaimana ia selalu mengingat tiap perkataan ayahnya tentang rumah, hidup, dan laut.

“…kata bapak, lebih baik tinggal di rumah di atas laut; biar bergoyang tapi hidup. Untuk apa membangun gedung-gedung besar, tapi semua mati. Sungai, laut, binatang-binatang akan marah karena tidak ada tempat untuk mereka.

sumber : youtube.com

Banyak budaya yang ditampilkan selama berjalannya cerita, salah satunya adalah bagaimana Tayung, ibu Pakis selalu menggunakan bedak dingin saat berpergian keluar untuk bermasyarakat, sebagai tanda rasa duka seorang istri yang kehilangan suami. Hingga kemudian, pada akhir cerita bedak tersebut dihapuskan sebagai wujud kebangkitan dari keterpurukan. Ditampilkan juga bagaimana masyarakat Indonesia, Suku Bajo pada khususnya menyambut tamu dengan rasa penasaran dan pelayanan sepenuh hati. Tudo yang diperankan oleh Reza Rahardian, sebagai tamu dari kebudayaan maju, dijadikan sebuah penggambaran tentangkan perlunya bantuan teknologi dalam upaya konservasi ekosistem laut sebagai mata pencaharian nelayan. Beberapa beberapa lainnya yang diperlihatkan antara lain, makan kasuami (makanan dari ubi) sebagai wujud rasa hormat pada nenek moyang; tidak menutup pintu rumah jika bukan suami istri; mobilitas antar tempat dengan sampan; upacara perjodohan; dan kehidupan bermasyarakat jika ada yang wafat.

“…kalau semua orang pergi ke Jakarta. Pakis juga pergi. Siapa yang menjaga disini?”

Dialog dari anak perempuan itu tertangkap dalam cermin lalu terpantul, menjadi sebuah refleksi bagi siapapun yang mendengarnya. Merdeka bukan berarti semua harus maju, yang tinggal bukan berarti terbelenggu oleh ketidakmampuan. Wujud afeksi pada tempat lahir dan memori yang tumbuh bersama dengan usia, menjaga orang untuk menjaga apa yang dimilikinya saat ini. Indonesia tidak akan dikenal sebagai negara yang multikultural, tanpa mereka yang tetap bertahan.

sumber : youtube.com

“Aku ingin menjadi penyu, bisa hidup membawa rumahnya kemana saja. Aku ingin membangun sebuah rumah. Yang beratap langit, beralaskan cermin besar di bawahnya.”

Demikian ucap Lumo, yang menjadi showstealer selama berlangsungnya film. Lalu, apa sebenarnya yang kemudian membentuk cerita tersebut hingga berjudul “Laut Bercermin”?. Laut adalah cermin. Secara harfiah, air yang yang disinari cahaya matahari mampu memantulkan bayangan apapun yang berada di atasnya. Begitu pun dengan laut. Laut mampu memantulkan bayangan awan, perahu, manusia, dan dalam dalam hal ini, mampu memantulkan keseharian Suku Bajo yang hidup di atas laut. Secara alegoris disampaikan bahwa laut bukan hanya sebuah pantulan cermin, namun juga tentang hidup itu sendiri. Bagaimana seseorang harus mampu menjaga dirinya, baik secara jasmani maupun rohani, layaknya menjaga ekosistem di laut agar mampu bertahan lama. Bagaimana manusia tumbuh dan berkembang, selayaknya bagaimana laut akan berubah tiap waktu. Manusia kadang mengalami suka dan duka, layaknya laut yang kadang pasang, kadang juga surut. Hidup adalah sebuah sebuah fakta sekaligus opini yang menakutkan, ombak besar di laut juga demikian. Dalam menjalani hidup, selalu ada risiko yang harus diambil, begitu juga dengan yang mengarungi lautan luas untuk mencari penghidupan yang layak. Yang terus berharap dan berhayal tidak akan mencapai apapun dalam hidupnya karena laut tidak bisa menjawab satupun pertanyaan verbal yang dilontarkan. Laut menjadi pusat cerita dalam film “The Mirror Never Lies”; laut menjadi tempat hidup Pakis, ibu dan ayahnya, Suku Bajo, dan ikan-ikan serta terumbu karang; laut juga adalah sebuah cermin raksasa, tempat manusia merefleksikan hidupnya.

sumber : youtube.com

Film ”The Mirror Never Lies” berlangsung begitu tenang atau bisa juga begitu mengalir, tergantung bagaimana seseorang memandang lautan. Tidak salah rasanya jika film ini memperoleh banyak penghargaan di kancah internasional. Proses produksi selama 3 tahun tidak berjalan sia-sia. Tiap curah pikir tersampai begitu tepat sasaran sebagai upaya menghadirkan sebuah wacana positif tentang interaksi alam, manusia, dan budaya.

“Laut adalah rumah bapakku, semua tentangnya adalah masa depanku. Maka disinilah aku akan hidup, dengan dongeng bapakku. Biru. Luas. Hidup. Laut, cermin besarku.

Telah diunggah di Instagram sejak 16 Januari 2021