Oleh Indigo Gabriel Zulkarnain, Divisi Konten Kamisinema
Menjadi ajang yang super prestisius, Festival Film Indonesia atau akrab dengan nama FFI selalu berhasil menyuguhkan tontonan-tontonan kelas atas. Entah dibuat kecewa atau tidak, tidak dipungkiri bahwa keberadaan seremoni ini mempunyai dampak besar terhadap industri film dalam negri. Dari banyaknya kategori, “Film Cerita Panjang Terbaik” seperti memiliki predikat tidak tertulis sebagai pemegang gelar nominasi paling bergengsi.
Dalam rangka menyambut malam anugrah FFI 2020, Kamisinema memberikan ulasan singkat film-film nominasi “Film Cerita Panjang Terbaik”. Semoga film terbaik menjadi pemenangnya.
1. Perempuan Tanah Jahanam (2019) – Joko Anwar
Ditulis oleh Ihza Affikri Awwal
Salah satu film yang saya tonton. Film ini mempunyai adegan pembuka terbaik se-Indonesia. Film ini berhasil membuktikan bahwa horor tak perlu jumpscare yang berlebihan. Hanya saja, resolusi ceritanya terbilang kurang dibawa ke klimaks.

Sumber : Dokumentasi Rapi Films / Base Entertainment
2. Humba Dreams (2019) – Riri Riza
Ditulis oleh Fellina Surgawi
Film humba dreams memiliki visual yang sangat artistik, teknik sinematografi yang sangat mumpuni. Ditambah dengan tema keseluruhan film tentang keunikan negeri sumba, mulai dari adat istiadatnya, pakaian serta rumah tradisyonalnya dan masi banyak lagi. Kisah seorang pemuda yang terangat ingin menjadi seorang sutradara, tetapi keadaan memaksanya untuk melepaskan mimpinya kemudian sadar meninggalkan kota kelahiran tidak selalu menjadi pilihan yang tepat untuk menjadi seorang yang besar, di negeri kita sendiri kita juga bisa menjadi orang yang hebat. Kritik untuk film ini, dengan inti cerita yang seperti itu penyajian filmnya terlalu panjang sehingga terkesan membosankan.

Sumber : Dokumentasi Miles Films
3. Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan (2019) – Ernest Prakasa
Ditulis oleh Ilham Bagus Mahendra
Film imperfect adalah sebuah film yang merefleksikan keadan sosial saat ini. Menurut saya masalah yang diangkat dalam film ini sangat relate dengan apa yang dirasakan kebanyakan orang. Isu sosial yang diangkat menurut saya juga sangat urgent dan perlu disampaikan kepada orang orang. Lewat film ini kita akan disadarkan bahwa kebahagiaan ga melulu soal rupa dan penampilan. Film ini juga dibalut dengan komedi-komedi para komika Indonesia yang tentunya dapat mengocok perut para penonton, walaupun komedi komedi yang ditampilkan agak memaksakan dan kurang natural. Walaupun sebagian besar film ini dibalut dengan komedi, akan tetapi penyampaian naratif film tersebut juga sangat baik dan tentunya dapat membuat emosi kita ikut larut dalam alur film. Dibalik itu semua film ini cocok ditonton bagi kalian yang sering merasa insecure dan merasa tidak yakin akan diri sendiri.

Sumber : Dokumentasi Starvision
4. Susi Susanti: Love All (2019) – Sim F.
Ditulis oleh Lisa Nurholiza
Film Susi Susanti: Love All tayang pada Oktober 2019 lalu. Sesuai judulnya, film biopik ini bercerita tentang tokoh pebulu tangkis perempuan Indonesia, Susi Susanti. Ceritanya diawali dengan kisah Susi kecil yang mengikuti pertandingan bulu tangkis di desanya hingga ia dipanggil ke Jakarta untuk menjalani karantina atlet di asrama. Namun, banyak bumbu yang ditambahkan dalam film ini selain kisah perjalanan karir bulu tangkisnya, yakni kisah cintanya, isu remaja, hingga yang paling menarik, isu rasial keturunan etnis Tionghoa di Indonesia. Perjalanan karir Susi Susanti sebagai pebulu tangkis nasional saat remaja, ternyata sempat goyah karena keterlibatan perasaan cintanya, lho! Ia dikisahkan sempat jatuh cinta pada sesama teman pebulu tangkisnya, Alan Budikusuma. Kisah cinta ini mereka sempat diduga menjadi pemicu turunnya semangat Susi dalam berlatih dan bertanding, namun akhirnya mereka bisa membuktikan keseriusannya dengan meraih medali emas di Olimpiade Barcelona pada 1992, mereka pun akhirnya menikah. Diangkatnya isu rasial dalam film ini malah menjadi hal yang lebih menarik daripada alur kisah utamanya. Dimana keadaan Indonesia di era 90-an tentang etnis keturunan Tionghoa yang banyak diatur pemerintah dan berdampak pada dunia bulu tangkis, pelatih-pelatih bulu tangkis yang didominasi oleh keturunan Tionghoa mendapat kesulitan dan ketidakjelasan mengenai kewarganegaraan, yang akhirnya di akhir film ditunjukkan bahwa pelatih tersebut akhirnya kembali ke China dan menjadi pelatih bulu tangkis profesional di sana, andai kata regulasi dan isu rasial tidak ada di Indonesia, mungkin pelatih-pelatih ini akan melahirkan banyak Susi Susanti lain dari Indonesia.

Sumber : Dokumentasi Time International Films
5. Mudik (2019) – Adriyanto Dewo
Ditulis oleh Gabriella Jeanette
Merupakan film garapan Adriyanto Dewo yang masuk ke dalam nominasi Film Cerita Panjang Terbaik FFI 2020. Film ini menceritakan kisah mudik dari sepasang suami istri, yaitu Firman (Ibnu Jamil) dan Aida (Putri Ayudia). Yang membuat menarik adalah, mereka melakukan perjalanan tersebut di kala sedang terjadi masalah hebat dalam hubungan keduanya. Sepanjang perjalanan, sikap saling ‘dingin’ ditunjukkan oleh sepasang pasutri tersebut. Belum berhenti sampai di situ, kesialan makin bertambah ketika mereka menabrak seseorang yang akhirnya meninggal. Konflik demi konflik terus bermunculan, membuat film ini semakin seru untuk ditonton. Pemilihan konsep dari film ini terasa sangat riil, mulai dari konflik yang terjadi, latar waktu serta tempat yang mendukung, hingga makeup dan kostum dari Firman dan Aida yang terlihat kucel, benar-benar menampilkan keadaan ketika kita sedang dalam perjalanan panjang. Tidak hanya itu, detail-detail kecil untuk menunjukkan keadaan mudik yang sebenarnya juga sangat berhasil dipertontonkan. Mulai dari berhenti di rest area, macet di tol, hingga makan di Restoran Padang, di mana merupakan restoran yang paling sering dijumpai ketika dalam perjalanan. Konsep cerita, mood dari setiap adegan dan pemain, detail-detail kecil, hingga pesan-pesan yang disampaikan dari film ini membuat Film Mudik menjadi sangat layak masuk ke dalam nominasi ini, bahkan juga layak membawa pulang piala nya

Sumber : Dokumentasi Lifelike Pictures
6. Hiruk-Pikuk si Al-Kisah (The Science of Fiction) (2019) – Yosep Anggi Noen
Ditulis oleh Indigo Gabriel Zulkarnain
Yosep Anggi Noen merupakan salah sedikit sutradara kontemporer yang memiliki kemerdekaan idealisme dalam menyuguhkan sinema yang sesungguhnya. The Science of Fiction merupakan ajang unjuk absurd terbarunya. Kritik politik sosial yang dibungkus dengan kemasan simbolisme segar membuat film ini berhasil menceritakan kembali sejarah tanpa menggurui penonton. Film ini memberikan sudut pandang baru tiap kali ditonton ulang. Memang bukan film yang mudah dimengerti, namun film ini dapat dirasakan. Dari pelannya pace adegan sampai keadaan hidup dan emosi Siman. Semua aspek filmmaking menjadi kontekstual terhadap tone dan cerita membuktikan bahwa Anggi datang ke set dengan visi. Anggi tidak mentah-mentah menyuapi penonton dengan eksposisi tentang plot. Ia membiarkan filmnya menjadi tanda tanya bagi publik, for better or for worse. Saya harap film ini jadi pemenang.

Sumber : Dokumentasi Limaenam Film / KawanKawan Film
Tulisan telah diunggah di Instagram pada 5 Desember 2020