Oleh Putu Bayuwestra, Divisi Konten Kamisinema
Sempat ditunda beberapa kali karena pandemi COVID-19, Wonder Woman 1984 secara tak tanggung-tanggung akhirnya rilis di bioskop. Bukan tanpa alasan, sensasi yang diberikan Wonder Woman 1984 atau “WW84”, saat menonton di layar lebar sungguh luar biasa, ditemani scoring yang sama menggelegarnya. Menjadi sekuel dari film pertamanya, WW84 membawa cerita yang lebih fresh dan mampu berdiri secara independen tanpa banyak bermain-main dengan semesta pahlawan.

Sumber : DC Comics / DC Films
“You’re not win because you are not ready to win.”
Patty Jenkins kembali dipercaya menjadi sutradara film superhero ikonik wanita satu ini. Ia kali ini bahkan juga ikut mengambil peran dalam penulisan skenario filmnya. Hadirnya Patty Jenkins membuat film Wonder Woman 1984 terasa lebih feminis, dibandingkan film pertamanya yang dikeroyok oleh 3 penulis pria sekaligus. Ceritanya berpusat pada Diana Prince sebagai Wonder Woman dan 2 villainnya, yaitu Max Lord dan The Cheetah. Berlatar di Amerika pada tahun 80-an, konflik utama dalam film ini mengenai ambisi Maxwell Lord atau “Max Lord” dalam menguasai dunia dengan bantuan sebuah batu pengabul keinginan. Disini, Diana juga bertemu dengan seorang teman seprofesi baru yang bernama Barbara Minerva yang minder dengan penampilan serta bagaimana orang meresponsnya. Cerita lalu berkembang dalam perjuangan Diana menggagalkan ambisi Max Lord, hingga nanti pada puncak pertarungan, Diana harus berhadapan dengan The Cheetah dan Max Lord. Dalam perjalanannya, Diana dibantu oleh Steve Trevor yang kembali dari kematian pada film pertamanya. Cerita yang dihadirkan lebih berkembang dibandingkan film pertamanya. Film ini tidak berusaha menggali lebih dalam backstory dari Diana Prince, melainkan fokus pada permasalahan yang ditimbulkan oleh 2 villainnya dan bagaimana Diana sebagai Wonder Woman harus mengatasinya. Walaupun menjadi sebuah sekuel, Wonder Woman 1984 tidak banyak berupaya untuk menyinggung semesta DC secara gamblang. WW84 tidak bersusah payah untuk menjelaskan, mengapa sesuatu yang “super” itu terjadi. Ia mengembalikan era film superhero yang membiarkan penonton menikmati imajinasinya.

Sumber : DC Comics / DC Films
Hal yang langsung menarik perhatian ketika menonton film ini adalah adegan pembukanya. Opening film ini disajikan amat megah, dengan adegan olimpiade suku Amazon. Lilly Aspell yang memerankan Diana Prince kecil menyajikan performa akting yang mengagumkan dengan aksi yang begitu enerjik. Efek visual yang digunakan amat tepat guna, walaupun di beberapa bagian masih terlihat kasar. Gal Gadot sebagai Diana Prince masih mampu membawakan karakter Wonder Woman dengan begitu kharismatik. Disisi lain, walaupun bukan performa terbaiknya, Chris Pine sebagai Steve Trevor mampu menyajikan chemistry yang dengan cepat mengalir bersama Gal Gadot. Sementara itu, 2 villainnya, Max Lord yang diperankan oleh Pedro Pascal dan Kristen Wiig yang memerankan Barbara Minerva sudah mampu memberikan penampilan solid, walau terasa kurang mendapat follow up berupa backstory dengan screen time yang lebih panjang. Sinematografi yang disajikan terlihat sangat indah dalam layar yang besar. Lanskap kota di Amerika, Mesir, dan beberapa kota di negara lainnya terlihat amat mendukung latar waktu tahun 80-an. Sekuen-sekuen aksi juga berhasil ditampilkan dalam pergerakan kamera yang memukai. Penonton seketika akan teringat sekuen aksi yang ditampilkan dalam kebanyakan film Spider-Man. Namun sayangnya, di beberapa adegan terlihat sinematografilah yang menggerakkan cerita, bukan sebaliknya. Musik oleh Hans Zimmer sudah tidak bisa diragukan lagi. Semua adegan berhasil dihidupkan oleh musik arahannya; ketegangan, musik latar waktu, serta musik para tokoh disajikan dengan begitu sesuai.

Sumber : DC Comics / DC Films
Mise-en-Scene dalam film ini juga tak kalah mendukung. Permainan warna yang dilakukan pada kostum dan properti benar-benar ditujukan untuk mewakili sesuatu maksud. Kostum superhero milik Wonder Woman masih sama dengan film pertamanya, namun pada WW84 juga hadir sebuah kostum baru yang bisa dilihat pada trailer film. Setting yang dibangun secara manual ataupun melalui efek visual “nampaknya” terlihat sesuai dengan latar waktu berjalannya film. Mengikuti jejak “Shazam”, Wonder Woman hadir dengan pencahayaan yang terang, bahkan untuk sekuen pertarungan pada malam hari, wajah tiap tokoh terlihat amat jelas. Selain pada properti, warna juga dimainkan begitu menarik pada aspek editing, terutama grading. Color grading sangat mendukung mood adegan dalam film. Satu lagi hal yang mengagumkan dalam film ini adalah penggunaan teknik montase. Montase digunakan secara tepat guna dalam 2 motif yang berbeda. Yang pertama, untuk menyampaikan informasi apa yang terjadi dalam film pertamanya. Lalu yang kedua disajikan untuk menceritakan latar belakang seorang tokoh. Kemudian, berkenaan dengan penggunaan efek visual. Efek visual yang digunakan sudah sangat bagus; terutama pada adegan kejar-kejaran menggunakan kendaraan, efek luka, dan efek ledakan/tembakan. Walaupun, untuk sekelas Hollywood bisa lebih bagus lagi, seperti jargon sang villain, Max Lord, “It (live) is good, but you can make it better”. Hal ini sangat terlihat pada efek visual yang digunakan pada The Cheetah yang terasa kurang hidup.

Sumber : DC Comics / DC Films
Berkenaan dengan konteks cerita, Wonder Woman 1984 mengulik beberapa isu menarik. Yang pertama adalah “The Hope and Its Effect”. Ambisi para villain untuk memperoleh apa yang mereka inginkan menimbulkan efek yang beragam. Keinginan selalu membutuhkan pengorbanan dalam pencapaiannya. Para penulis naskah secara ambisius menggambarkan ambisi manusia dan beragam efeknya secara masif. Isu kedua adalah mengenai “Racial Diversity”. Pada film ini ditampilkan manusia dengan beragam ras dari berbagai negara. Bahkan secara unik, anak dari Maxwell yang merupakan orang kulit putih digambarkan sebagai seorang Asia. Entah sesuai atau tidak dengan keadaan pada era itu, film ini seakan menghadirkan utopia, dimana semua manusia diperlakukan secara sama. Isu lainnya yang disampaikan adalah mengenai “Women Power” dalam menghadapi catcalling. Bukan sekadar bahan canda, isu catcalling sebagai bentuk pelecehan seksual di ruang publik “dihajar” dan “ditendang” habis-habisan dalam film WW84. Adegan mengenainya dalam banyak kesempatan terus ditampilkan, menjadi sebuah pesan bahwa permasalahan mengenai catcalling belum selesai.

Sumber : DC Comics / DC Films
Secara keseluruhan, film Wonder Woman 1984 adalah salah satu film yang wajib ditonton selama masih tayang di bioskop. Ceritanya yang begitu mengalir serta aspek sinematik yang memanjakan tiap indra, menjadi tontonan menarik yang sayang untuk dilewatkan. WW84 menjadi sebuah pijakan awal bagi film superhero yang sudah lama memulihkan diri setelah dipukul habis oleh pandemi.
Nilai 7.1 / 10
Tulisan telah diunggah di Instagram pada 29 Desember 2020