Oleh Benny Susanto, Divisi Konten Kamisinema

Mereka yang sudah beranjak dewasa dan besar pada era televisi berkembang, tentu akan terhipnotis dan langsung membeli tiket jika tayangan kartun semasa kecilnya diangkat kembali ke layar lebar. Sayangnya, kerap ditemui pada film adaptasi kartun, baik dalam format live-action atau animation, menyajikan formula yang hampir sama dan seakan kurang memberi suntikan naratif dan sinematik yang baru serta orisinil, sehingga nilai film adaptasi kartun hanya bertumpu pada niatan penonton untuk “bernostalgia”. Namun apakah anggapan ini melekat pada film Tom & Jerry yang rilis di tahun 2021? Atau masih ada secercah harapan dalam film tersebut?

Sumber : arsip Warner Animation Group via Cinematerial

Tampaknya sudah menjadi tradisi sejak kita memasuki era film modern, dimana teknologi berkembang dengan pesat dan para produser besar Hollywood mulai memanfaatkan hal ini untuk membawa kembali berbagai tayangan kartun mereka yang jaya pada masanya. Dua produser film besar contohnya, Disney dengan kultus princessnya dan Warner Bros dengan Space Jam, Scooby Doo, serta Tom & Jerry. Semuanya diangkat dalam bentuk film layar lebar, dengan bertujuan ingin memberikan pengalaman yang sama kepada anak muda generasi sekarang, dan tentunya sebagai ajang nostalgia bagi generasi terdahulu. Tom & Jerry menjadi pendatang baru dalam lingkaran kelompok gagal move-on ini. Format live-action digunakan dengan menggabungkan gaya animasi pada karakter hewan di film ini.

Sumber : arsip Warner Animation Group via IMDb

Bercerita tentang perjalanan hidup Tom & Jerry di kota New York, serta mengambil titik fokus penceritaan pada karakter Kayla, seorang pemudi yang cerdik dan menggunakan berbagai cara untuk bertahan hidup di New York. Secara garis besar, film ini hanya menceritakan tentang tokoh Kayla (Chloë Grace Moretz) yang berjuang, hingga berhasil dengan cara curangnya tersebut, lalu gagal dan ditebus dengan cara yang klise. Tokoh lainnya yang sayangnya diperankan oleh aktor berkelas di dunia komedi, seperti tokoh Terrance (Michael Peña) dan Chef Jackie (Ken Jeong), seperti kurang disuntik arahan yang baik, sehingga hanya menampilkan sekitar 10-15% performa akting dan komedi mereka sepanjang karir. Animasi dalam film ini seperti ingin memberikan gaya yang baru, namun terasa kaku dan tidak bersatu saat para hewan berada satu layar dengan para manusia. 

Sumber : arsip Warner Animation Group via IMDb

Lalu apa yang menarik dari film ini? Tentu saja Tom & Jerry! Siapa yang tidak akan tertawa terbahak-bahak jika melihat tingkah jenaka mereka? Namun harus diakui, porsi yang disajikan tidak semenarik itu dan terkesan hanya membawakan kembali jokes serta cara-cara lama yang sudah pernah kita temui di serialnya. Gestur kecil ala slapstick comedy berhasil menyelamatkan film ini walau hanya di beberapa kesempatan saja. Memang Tom & Jerry menjadi kedua tokoh yang kehadirannya bisa diampuni, lucu atau tidak lucu, itupun lucu karena ada memori yang sudah dibangun secara konstan di pikiran kita, akan tetapi hal itu tidak cukup untuk mengatakan film ini sebagai karya film sukses.

Sumber : arsip Warner Animation Group via IMDb

Memang tujuan Produser film paling kontroversial, Warner Bros. Pictures, dalam mengangkat Tom & Jerry ke layar lebar tidak lain untuk memberikan pengalaman tontonan yang sama ketika Tom & Jerry rajin tayang di televisi seluruh dunia, akan tetapi niatan ini tidak cukup. Bermodalkan iming-iming “nostalgia”, alhasil film ini hanya akan dikenang sebagai salah satu karya adaptasi “gagal move-on” yang muda dilupakan dalam ingatan anak muda jaman sekarang ketimbang menjadi sebuah gebrakan pop culture yang melekat di hati dan pikiran anak-anak kala penayangan kartunnya. Pada akhirnya, jika penonton ingin mengenang keseruan duo kucing-tikus ini, pilihan yang lebih masuk akal jika mereka mengakses YouTube dan mengetik kata kunci “Tom & Jerry best episode/moment/funny”.

Tulisan telah diunggah di Instagram pada 24 Maret