Oleh Putu Bayuwestra, Divisi Konten Kamisinema
Film adalah media audio visual yang paling efektif dalam menyajikan bayang pikir manusia. Sifat realis-imajiner yang dibawanya, membuat para pembuat film bebas berkreasi terhadap jenis narasi yang akan dituturkan. Sebagai salah satu media massa, film ditonton oleh khalayak ramai yang nantinya akan dilirik sebagai ladang bisnis yang menguntungkan bagi para produsen film. Dalam perkembangannya, untuk menarik penonton, film diproduksi mengikuti kaidah genre-genre populer yang disukai oleh orang banyak, seperti romansa, aksi, dan horor. Namun, bukan berarti semua sineas demikian. Banyak filmmaker Indonesia yang berani berkreasi dengan genre-genre film yang beda dari biasanya, atau dikenal dengan istilah “Anti-Mainstream”. Berikut ini, rekomendasi 8 film dengan genre yang Anti-Mainstream.
- DoReMi & You – Musikal (2019)
Ditulis oleh Suci Prasasti
Do Re Mi & You berkisah tentang sekelompok pertemanan yang berusaha memenangkan lomba menyanyi. Hal tersebut dilakukan karena sebuah kecerobohan membuat uang jaket teman sekelas mereka hanyut ke sungai, maka dengan memenangkan hadiah perlombaan tersebut mereka berharap bisa menggantikan uang yang hilang itu. Seperti film musikal pada umumnya beberapa percakapan digantikan dengan nyanyian dan tarian. Dengan latar belakang cerita mengenai kehidupan remaja film ini sangat cocok di tonton oleh anak muda karena memiliki mood yang ceria serta look yang penuh warna.

Sumber : Goodwork / Viu Original
- Supernova – Fiksi Ilmiah, Romansa (2014)
Ditulis oleh Putu Bayuwestra
Film “Supernova : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh” merupakan sebuah ekranisasi dari novel karya Dee Lestari dengan judul “Supernova”. Supernova berkisah dalam dua setting yang berbeda. Yang satu mengenai ambisi 2 orang penulis untuk menulis karya bersama untuk dapat menarik perhatian banyak orang, dengan latar lokasi di Washington DC. Sementara di sisi lain, sebuah perselingkuhan sedang terjadi di Jakarta melibatkan seorang eksekutif muda dan seorang reporter. Uniknya, kisah romansa terlarang yang sedang terjadi, sama persis dengan novel yang sedang ditulis oleh kedua penulis sebelumnya, menjadikannya sebuah film dengan genre fiksi ilmiah dengan bumbu spiritualitas yang menarik untuk ditonton..

Sumber : Soraya Intercine Films
- Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak – Western (2017)
Ditulis oleh Indigo Gabriel Zulkarnain
Menyajikan gaya film western yang tetap mempertahankan lokalitas film Indonesia. Menjadi revenge flick yang sangat compelling dan memiliki gaya yang sangat fresh. Layaknya Agnes Varda, lewat film ini Mouly Surya memberikan narasi feminisme yang kuat tanpa memberikan kesan menggurui, dipaksakan, dan pretensius.

Sumber : Sinesurya, Kaninga Pictures
- Gie – Biografi (2005)
Ditulis oleh Intan Bintang Pratiwi
Gie adalah film yang diangkat dari kisah Soe Hok Gie, seorang tokoh aktivis berpikiran kritis pada masa pemerintahan Soekarno. Ia adalah tokoh yang pada masa itu banyak menentang kebijakan Soekarno yang menurutnya tidak memihak pada rakyat kecil. Selain itu ia juga merupakan salah seorang Mahasiswa Universitas Indonesia yang dikenal sebagai demostran dan pecinta alam. Film ini diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran karya Gie sendiri, tetapi ditambahkan beberapa tokoh fiktif agar ceritanya lebih dramatis.

Sumber : Miles Films
- Kala – Noir, Horror Thriller (2007)
Ditulis oleh Suci Prasasti
Film karya Joko Anwar yang rilis pada tahun 2007 ini memiliki genre yang jarang ditemui di Indonesia, yaitu bergenre noir dengan sedikit unsur horror thriller. Film ini bercerita mengenai seorang jurnalis pengidap Narkolepsi di mana ia sering tertidur secara tiba-tiba. Dalam sebuah analisis kasus ia dipertemukan dengan beberapa orang yang melaukan investigasi atas pemburuan harta karun misterius milik Seokarno. Kematian beruntun para tokoh dibuat dengan adegan-adegan thriller yang luar biasa sadis. Visual dark khas film noir sangat apik berada di bawah garapan Joko Anwar. Tak main-main, mengangkat latar belakang cerita pada tahun 1950an film ini berhasil meraih dua piala citra FFI tahun 2007 sebagai Sinematografi dan Tata Artistik Terbaik.

Sumber : MD Pictures
- Serigala Terakhir – Kriminal Gangster (2009)
Ditulis oleh Putu Bayuwestra
Sebuah cerita film yang masih dipertanyakan kesesuaian dengan latar kejadian sering menjadi keraguan tersendiri bagi sineas Indonesia. Namun, berbeda dengan Upi Avianto atau yang lebih dikenal dengan “Upi Rocks”. Dengan brutal, ia berani bermain pada genre kriminal-gangster dengan latar belakang Kota Jakarta, melalui film Serigala Terakhir. Film ini menjadi sebuah aksi tanpa sensor tentang pertempuran antar kampung serta kejamnya geng mafia narkoba. Sudut kelam ibukota, spirit liar, dan kebebasan jiwa muda menjadi tontonan penuh ketegangan selama durasi film sekitar 110 menit.

Sumber : IFI Sinema
- Abracadabra – Fantasi (2019)
Ditulis oleh Lisa Nurholiza
Film ini mengangkat sebuah genre yang tidak biasa, setting yang dibangun juga mengarah pada bentuk bentuk surealis, penataan kostum dan riasnya juga tak kalah unik, tak heran jika penata busana dan tata rias film ini, Hagai pakan dan Eba Sheba memenangkan piala citra 2020 kemarin, begitu juga dengan penata artistiknya, Vida Silvya. Keunikan film ini sangat jarang ditemui di film-film Indonesia, penonton juga dibuat cukup kaget dengan kehadiran film yang masih dianggap “pendatang baru” di Indonesia.

Sumber : Fourcolours Film, HOOQ
- Bumi Manusia – Drama Sejarah (2019)
Ditulis oleh Fellina Surgawi
Film Bumi Manusia mengisahkan awal pada abad ke-20, di mana Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo, dengan Salman Aristo sebagai penulis skenario; bercerita tentang dua manusia yang meramu cinta. Namun mereka harus menghadapi tatanan sosial yang sesuai di masa itu. Tatanan sosial berdasarkan golongan, di mana para penjajah dapat kelas sosial yang paling tinggi sedangkan warga pribumi hanya dipandang sebagai kelas rendahan.

Sumber : Falcon Pictures
Tulisan telah diunggah di Instagram pada 22 Desember 2020