Oleh Putu Bayuwestra
Saat berada di Kawasan festival film JAFF, ada satu hal yang cukup menarik perhatian saya ketika melihat poster-poster yang ditampilkan. 2 buah film oleh sutradara yang sama dihadirkan pada perhelatan yang memasuki tahun keenambelasnya tersebut. Film yang dimaksud ialah “Drive My Car” dan “Wheel of Fortune and Fantasy” oleh Ryusuke Hamaguchi. Seketika saya berfikir, “betapa kerennya sutradara ini.” Bagi saya, 1 film saja sudah merupakan sebuah kehormatan. Namun bukan hanya di JAFF 16, “kombo 21” dari Ryusuke Hamaguchi, juga hadir di Busan International Film Festival, New York Film Festival, Chicago Film Festival, Sydney Film Festival, juga ditampilkan salah satu diantaranya di festival besar lainnya seperti, Cannes Film Festival, Berlinale International Film Festival, Toronto International Film Festival serta berbagai festival, dalam berbagai skala di penjuru dunia. Bisa dikatakan tahun 2021 adalah tahun keemasan bagi Ryusuke Hamaguchi. Namun, ketika tiba di situasi dimana 2 film ini disandingkan, “Drive My Car” selalu terkesan lebih unggul dibandingkan “Wheel of Fortune and Fantasy”. Bahkan hingga pendapat ini makin absolut, ketika “Drive My Car” menjadi salah satu nominasi Best Picture di Academy Awards ke-94. “Wheel of Fortune and Fantasy” kemudian hanya terasa menjadi side kick karakter utama kisah dari Jepang ini. Padahal “Wheel of Fortune and Fantasy” memiliki sebuah kekhasan tersendiri yang membuatnya layak diperbincangkan sebagai salah satu karya terbaik dari Ryusuke Hamaguchi.
Merupakan film yang disutradarai, sekaligus ditulis langsung oleh Ryusuke Hamaguchi, “Wheel of Fortune and Fantasy” tayang pertama kali di Berlinale Film Festival ke-71, pada Maret 2021. Seperti ditunjukkan di trailernya, film ini menghadirkan 3 cerita dengan 1 benang merah yang sama yaitu Kebetulan. Tiap cerita ini hadir dengan kekuatan masing-masing dalam film yang berdurasi 121 menit.
Episode 1: “Magic (or Something Less Assuring)” – Keinginan untuk Dicintai
Kembali ke beberapa tahun lalu, saya mencoba mengingat lagi bagaimana saya menilai film-film komersial Jepang, terutama dalam hal aktingnya. Saya merasa teater Jepang membawa pengaruh besar terhadap bagaimana cara aktor/aktris mengekspresikan peran yang ia mainkan. Gaya sok cool, karismatik, terlampaui komikal dan teatrikal, seringkali membuat saya mengernyitkan alis ketika menontonnya. Pendapat tersebut bertahan cukup lama, sebelum kemudian saya diajak berkenalan dengan “Shoplifter” oleh Hirokazu Koreeda. Disini menjadi titik pertama saya mengenal ekspresi lazim masyarakat Jepang dalam kesehariannya. Inilah yang lalu saya notice pertama kali saat menonton Episode 1.

Episode pertama berkisah tentang seorang model yang bernama Meiko (Kotone Furukawa). Di perjalanan pasca photoshoot, Meiko bersama kawan baiknya Tsugumi (Hyunri) berbincang dalam taksi di perjalanan pulang. Mereka berbicara banyak tentang cinta dan seks, serta kemudian love interest baru Tsugumi. Setelah mengantar Tsugumi, Meiko meminta supir taksi untuk memutar baik. Meiko kemudian memasuki sebuah perkantoran tempat mantan kekasihnya, Kazuaki (Ayumu Nakajima) bekerja. Disini Meiko beradu mulut dengan Kazuaki, menyampaikan tebakan bahwa orang yang disukai Tsugumi adalah dia. Secara verbal, Meiko terus menerus menyakiti Kazuaki, hingga pada puncaknya berkata bahwa Kazuaki masih belum hilang rasa pada dirinya. Keesokan harinya, hal yang jauh lebih tak terduga terjadi.
“Wheel of Fortune and Fantasy” bisa dikatakan sebagai karya Ryusuke Hamaguchi dengan tumpuannya pada kekayaan tekstual. Episode pertama, pada adegan kedua, diperlihatkan perbincangan antara Meiko dan Tsugumi dalam taksi. Disini informasi tidak disampaikan secara gamblang, hanya percakapan antar wanita yang dalam banyak hal mereferensikan sesuatu. Cara berpikir, ketertarikan, apa yang disuka dan tak disuka, serta kemudian secuil informasi yang menjadi pemantik plot. Hal yang sama terjadi pula pada adegan di kantor dan final act, sebagian besar benar-benar bertumpu pada dialog. Disini, alih-alih visual perhatian saya dalam hal lebih terfokus pada subtitle Bahasa Inggris yang ditampilkan. Biarpun demikian, aspek-aspek lain yang hadir pada episode pertama ini cenderung membumi. Kamera statis yang minim pergerakan, sudut pengambilan yang lega, lalu teknis spesial di akhir film dipakai secara tepat guna untuk memberikan kesimpulan yang tak terduga pada naratif film.
Episode 2: “Door Wide Open” – Keinginan untuk Disentuh
Ketika berbicara sesuatu yang berbau seksualitas manusia. Laki-laki seringkali dihadirkan sebagai predator yang selalu berhasrat. Dituturkan sebagai makhluk yang menyergap jika diberi tubuh. Pakem ini sering kali menimbulkan sebuah kecanggungan atau bumerang yang memberikan doktrin bahwa laki-laki harus berbuat demikian. Di Episode 2, Ryusuke Hamaguchi memberikan ruang pada wacana bahwa perempuan juga manusia yang memiliki hasrat. Tanpa berusaha menjustifikasi secara pukul rata, ”Door Wide Open” membuat eksplanasi yang disampaikan dengan baik sehingga membuatnya terdengar logis.

Bermula dari seorang mahasiswa yang menunduk dan berlutut kepada instruktur Perancis yang bernama Profesor Segawa. Ia memohon agar diluluskan karena akan mempengaruhi karirnya sebagai pembawa berita. Usahanya berakhir sia-sia, Prof. Segawa hanya merespon tampa simpati. Salah seorang dosen di ruang lainnya dating lalu menutup pintu tempat Prof. Segawa mendengar permohonan dari mahasiswanya. Namun, Prof. Segawa bersikeras untuk membuka pintunya. Mahasiswa yang bernama Sasaki itu, kembali ke apartemennya. Disana dia ditunggu oleh seorang wanita, seorang ibu yang telah punya anak yang bernama Nao. Sasaki tanpa berbasa-basi dan tanpa banyak penolakan langsung menyetubuhi Nao. Setelah Sasaki selesai mandi, ia melihat berita di TV bahwa Prof. Segawa memenangi Akutagawa Prize untuk novel yang ia buat. Sasaki kemudian memaksa Nao untuk menggoda Prof. Segawa demi menciptakan sebuah Skandal.
Pada adegan selanjutnya diperlihatkan bagaimana Nao memperkenalkan diri sebagai salah satu mahasiswanya dan penggemar novel karya Prof. Segawa. Nao mengatakan ada satu hal yang disukainya dari novel tersebut. Ia membaca bagian novel yang menceritakan secara detail adegan (restricted) foreplay. Pada suatu titik, Nao mengira Prof. Segawa akan termakan oleh godaannya. Ia bahkan menutup pintu untuk “mengunci” Prof. Segawa. Namun alih-alih tergoda, Prof. Segawa kembali membuka pintu yang ditutup, melihat mahasiswa yang berjalan, seolah tak terjadi apa-apa. Setelah itu, Nao menyerah dan mengaku ingin menjebak Prof. Segawa dan merekam seluruh percakapan mereka. Di akhir pertemuan itu, Prof. Segawa meminta Nao agar mengirimkan rekaman tersebut. Nao mau mengirimkan asalkan Prof. Segawa mau (restricted) bermasturbasi dengan suaranya. Prof. Segawa kemudian mengiyakan. Di akhir Episode 2 suatu hal yang tak terduga kemudian terjadi.
Hasrat menjadi kata kunci pada episode kedua ini. Diperlihatkan bagaimana manusia bertindak demi menyalurkan, mengontrol, ataupun mengalihkan hasrat seksualnya. Jika di episode pertama, yang menjadi tumpuan informasi film adalah dari dialog. Maka hal yang tak jauh beda terjadi juga pada episode kedua. Namun disini, dialog hadir untuk mengobrak-abrik rasa antar tokoh yang dampak juga akan dirasakan penonton. Visual yang hadir masih konsisten dengan kesederhanaan. Tiap detail yang dibutuhkan untuk memperkuat informasi mampu tercapture dengan baik. Mungkin ada beberapa hal minor terkait penjelasan kesinambungan waktu yang sedikit kurang tersampaikan. Yang menjadi acungan jempol dari sisi di luar naratif adalah departemen tata rias yang hadir meyakinkan dalam menyajikan lompatan waktu yang dibarengi dengan rasa ketidakbahagiaan pada tokoh utama.
Episode 3: “Once Again” – Keinginan untuk Diingat
Episode ketiga bisa dikatakan yang paling relate bagi sebagian besar orang. Berkisah di tahun 2019 dimana sebuah virus menyebabkan tanpa sengaja data milik pengguna tersebar bebas, yang mana hal ini kemudian membuat orang-orang kembali menggunakan telegram dan pos. Natsuko, seorang pekerja IT merasa tidak nyaman menghadiri reuni SMA karena tidak ingat dengan nama teman-teman nya. Beberapa hari kemudian, di escalator ganda sebuah stasiun kereta api, Natsuko berpapasan dengan seorang wanita. Ia yang merasa mengenal wanita tersebut kemudian mengejarnya. Si Wanita yang juga merasa mengingat Natsuko, mengajaknya bertamu ke rumahnya. Mereka banyak berbincang selama perjalanan. Namun ketika sampai di rumah Natsuko meminta maaf karena lupa dengan nama wanita itu yang diingatnya sebagai teman lamanya. Saat si wanita menyebut namanya, Aya dan Asal sekolahnya, Natsuko akhirnya paham ia salah orang, merasa malu dan mencoba untuk pergi. Aya mencoba meyakinkan Natsuko untuk tak pergi karena sudah dibuatkan hidangan. Natsuko tak jadi pergi. Natsuko kemudian menjelaskan pada Aya bahwa wanita yang dikira dirinya adalah Cinta pertama Natsuko. Sebuah bentuk kesalahpahaman yang indah dijabarkan dari awal hingga akhir cerita.

Episode 3 adalah cerita penutup dari film “Wheel of Fortune and Fantasy”. Jika diumpamakan layaknya makan di restoran yang proper, “Once Again” adalah sebuah dessert yang manis tentang kesalahpahaman kognitif dalam me’reka sebuah nama. Serupa dengan dua karya sebelumnya, Ryusuke Hamaguchi bergerak dengan cara yang tidak konvensional dalam mengolah plot twist. Ia lebih memandang plot twist sebagai suatu hal biasa yang menggerakkan plot. Seperti episode pertama informasi disampaikan melalui dialog, “apa yang terjadi?”, “apa yang dirasakan”, dan “apa yang aku harapkan?”. Kedua tokoh yang diperankan oleh Fusako Urabe dan Aoba Kawai mampu menyajikan pembawaan karakter yang sama-sama lugu dan membiarkan dirinya seolah tergerak oleh cerita. Tak banyak hal yang bisa dibahas pada aspek di luar naratif, karena ketiga episode diarahkan oleh 1 penata gambar yang sama, Yukiko Iioka. Episode ketiga juga tampil membumi seperti episode-episode sebelumnya. Bahkan setelah episode ketiga, saya tersadar bahwa musik skoring hanya hadir ditiap awal dan akhir episode, sebuah keputusan yang mampu memperkuat tiap dialog yang disajikan.
Kebetulan yang Bercermin
“Manusia selalu hidup dalam dunia yang berkeinginan. Dalam mewujudkan sebuah keinginan diperlukan adanya rencana. Namun, karena manusia tak jauh beda dengan makhluk lainnya jika ditinjau berdasarkan kemalangannya. Seringkali, rencana yang disusun berujung gagal dan menimbulkan suatu kebetulan antar tiap manusia yang berkeinginan.”
Demikianlah kira-kira interpretasi saya tentang film ini yang kemudian diamini oleh Ryusuke Hamaguchi dalam sebuah wawancara di New York Film Festival. Banyak kebetulan yang terjadi dalam film ini yang lalu bisa saya sebut sebagai “Koentji Tjerita”. Namun, perlu saya wanti-wanti bahwa selanjutnya, akhir dari tiap 3 episode akan saya jabarkan. Sehingga bagi yang kurang berkenan, terima kasih karena telah membaca sejauh ini.
Meiko dan Tsugumi berbincang tentang orang yang disukai oleh Tsugumi, yang entah kenapa secara kebetulan adalah mantan kekasih dari Meiko. Keinginan Meiko untuk dicintai membuatnya menciptakan skema bagaimana jika ia melabrak Kazuaki di depan Tsugumi dan berkata bahwa Kazuaki masih mencintainya. Namun, melalui Teknik zooming yang tepat guna, Meiko membatalkan niatnya, dan memilih suatu skema yang menurutnya jauh lebih dewasa.
Kebetulan juga terjadi pada episode kedua, tepatnya di bagian akhir film. Ketika Nao diminta untuk mengirimkan rekaman audionya membaca buku Prof. Segawa, tanpa sengaja anaknya datang dan menyebut nama Sagawa. Berulang kali, nama tersebut diucapkan saat Nao sedang berusaha mengirimkan audio tersebut. Sehingga, tanpa disadari, alih-alih mengirim audio ke Prof. Segawa, Nao malah mengirim audio ke seorang yang bernama Sagawa. Hal tersebut, membuat perbincangan Nao tersebar ke Media. Di ending, Nao yang telah diceraikan oleh suaminya, kini hidup sendiri, bersusah payah mencari pekerjaan.
Secara tak terduga dua orang saling tak mengingat teman yang cukup berarti bagi mereka. Kebetulan ini menimbulkan sebuah kecanggungan. Natsuko mengira Aya adalah teman sekelasnya dulu, pun orang yang pernah menjadi tambatan hatinya. Sementara di akhir cerita dibuat jelas bahwa Aya juga sempat mengira Natsuko merupakan teman sekelasnya, yang jago bermain piano. Adegan penutup diakhiri dengan Aya yang mengejar Natsuko untuk berkata ia kini mengingat nama temannya, sebuah ending yang heartwarming.

Pengaca Lainnya dan Penutup
Seringkali ada sebuah sentimen dalam usaha sutradara pria yang men-direct cerita tentang wanita. Konon wanita dalam apa yang mereka imajinasikan adalah hanyalah sebuah objek yang tak berdaya. Melalui 3 cerita dalam film ini, Ryusuke Hamaguchi mampu secara jujur menunjukkan keragaman perspektif dalam tiap karakter utama perempuannya. Ada yang memiliki hasrat untuk dicintai, keinginan untuk memiliki dan dimiliki, ada seorang ibu, ada juga seorang pekerja, ada yang tak berdaya, ada juga yang punya otoritas, ada yang merindukan, ada juga yang dirindukan. Keterbukaan perspektif ini menjadi titik yang menjembatani dan “seharusnya” diantara pandangan yang diskredit dan subversif.
Dialog seperti yang selalu ditekankan, hadir secara konsisten dan dominan dalam ketiga episode. Alih-alih pragmatis, dialog seringkali digunakan untuk menggambarkan situasi penduduk, sosial, politik, ekonomi, perspektif, segmentasi pola pikir berdasarkan, dan banyak hal lainnya. Hal ini dikelola dengan baik oleh Ryusuke Hamaguchi. Walaupun kemudian yang menjadi pr adalah keterbatasan bahasa, subtitle, dan visual. Sebagai penonton, saya seringkali harus menaik turunkan mata agar tak kehilangan informasi. Namun yang patut diapresiasi, secara cerdik diakali dengan penampilan visual yang membumi, sehingga diperoleh ruang untuk memahami konteks film secara verbal.
Tiap episode hadir dengan tema besar lain, yaitu romansa dan seksualitas. Namun, paling kentara pada cerita pertama. Dialog dalam mobil mampu menunjukkan preferensi romansa dan seks tokoh Meiko dan Tsugumi. Pada episode kedua yang hadir secara dominan adalah seksualitas, lalu romansa pada episode ketiga. “Door Wide Open” menunjukkan hasrat seksual dari tiap tokoh utama. Sasaki yang terbuka, Nao yang frontal, dan Prof. Segawa yang tertutup. Yang menjadi unik disini adalah Prof. Segawa yang sangat menutupi hasratnya yang diinversikan dengan upayanya untuk selalu ingin agar pintu terbuka. Seolah berkata “apa yang lu lihat, itulah gue.” Lalu terakhir “Once Again” yang tampil dengan sedikit menyentil isu LGBT. Disampaikan bahwa Natsuko jatuh cinta pada temannya yang sesama perempuan. Ruang terbuka terhadap isu tersebut, membuat naratif dalam film ini begitu kaya. “Wheel of Fortune and Fantasy” adalah sebuah karya dari Ryusuke Hamaguchi yang tak boleh sama sekali dilewatkan. Pengalaman menonton yang dihadirkan terbilang kaya dengan penyampaian dan teknik yang sederhana. Ansambel yang dihadirkan begitu menyatu dalam tiap ceritanya. Walau, dalam beberapa titik harus menaruh banyak fokus terhadap dialog yang disampaikan. Semoga film ini, bisa segera hadir di platform-platform digital, ditonton, dan membuka ruang diskusi yang berkelanjutan.
